Selasa, 04 September 2018

Allah, Injil, dan Makna Hidup

Apakah makna hidup manusia? Haruskah pertanyaan ini dijawab?
Suatu kali ada seorang mahasiswa yang menceritakan persoalan yang baru saja menimpanya. Persoalan ini berkaitan dengan apa yang dialami sahabat baiknya. Dia mengalami kecelakaan dan meninggal di waktu di mana dia tinggal sedikit lagi menunggu wisuda dari kampusnya. Setelah semua susah payah yang dia jalani selama masa perkuliahan, hidupnya berakhir begitu saja. Sang mahasiswa pun bertanya, “Kalau begitu untuk apa dia belajar susah payah?”

Cerita di atas hanyalah salah satu contoh peristiwa yang bersinggungan dengan makna hidup. Persoalan ini dipikirkan oleh banyak orang di seluruh dunia. Sebagian orang mengabaikan pertanyaan ini. Sebagian lagi tidak tahu bagaimana menjawabnya. Di sekeliling kita ada banyak orang yang hidup begitu saja, hanya menjalani dan menikmati hidup sebagaimana mestinya. Banyak orang yang tidak tahu untuk apa dia hidup.

Namun jika dicermati lebih dalam, di balik pertanyaan “apakah makna hidup manusia” sebenarnya ada pertanyaan yang lebih mendasar yang harus dipikirkan, yaitu “apakah hidup memang punya makna?” Pertanyaan ini berusaha untuk mundur satu langkah dan seharusnya membuat kita merenungkan hal sepenting ini. Jikalau hidup memang tidak ada maknanya, maka tidak perlu susah payah mencari maknanya. Ke mana pun kita mencarinya, kita tidak akan pernah menemukannya. Untuk apa mencari sesuatu yang tidak ada?

Sudut pandang ateis: filosofis dan pragmatis
Dalam sudut pandang filosofis ateis, pencarian makna hidup adalah sebuah kesia-siaan. Pertanyaan “apakah makna hidup manusia” adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Pertanyaan itu tidak memiliki jawaban. Pertanyaan itu salah dan harus dianulir. Hidup kita tidak memiliki makna. Kehidupan ini ada bukan karena sebuah hasil rancangan, tujuan, atau Pencipta. Eksistensi kehidupan hanya akibat dari evolusi molekul melalui proses fisika dan kimia biasa. Karena manusia hanya merupakan hasil dari sebuah proses natural yang kebetulan, maka implikasinya sudah bisa ditebak, kehidupan ini pasti tidak memiliki makna. Apakah ada makna dari sebuah makhluk yang berasal dari kecelakaan kosmik?

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene, “. . . yang relevan di sini adalah sebelum kedatangan kehidupan di bumi, beberapa evolusi molekul yang sederhana bisa saja terjadi karena proses fisika dan kimia biasa. Tidak perlu ada rancangan, tujuan, atau Allah.” Setelah bumi terbentuk kira-kira 4,5 milyar tahun yang lalu, terdapat lumpur purba dan beberapa zat lainnya (seperti gas metana, hidrogen, uap air, dan amonia). Ketika semuanya ini terkena sinar kosmis dan kilatan halilintar, maka terbentuklah apa yang kita kenal sebagai asam amino. Lebih lanjut, terjadilah evolusi kimiawi sebagai awal dari sel primitif (3,5 milyar tahun yang lalu). Sel primitif inilah yang kemudian menjadi - berdasarkan evolusi biologis - manusia, binatang, dan tumbuhan. Evolusi tidak mengatakan manusia berasal dari kera. Evolusi hanya mau mengatakan bahwa manusia, hewan, dan tumbuhan, semuanya berasal dari sumber yang sama.

Dawkins dalam buku yang sama melanjutkan pembahasannya, “Chemists have tried to imitate the chemical conditions of the young earth. They have put these simple substances in a flask and supplied a source of energy such as ultraviolet light or electric sparks — artificial simulation of primordial lightning. After a few weeks of this, something interesting is usually found inside the flask: a weak brown soup containing a large number of molecules more complex than the ones originally put in. In particular, amino acids have been found — the building blocks of proteins, one of the two great classes of biological molecules. Before these experiments were done, naturally-occurring amino acids would have been thought of as diagnostic of the presence of life . . . More recently, laboratory simulations of the chemical conditions of earth before the coming of life have yielded organic substances called purines and pyrimidines. These are building blocks of the genetic molecule, DNA itself.” Pengalaman uji coba yang berhasil tersebut membuktikan bahwa tidak ada yang namanya penciptaan. Semuanya adalah proses natural. Semuanya terjadi karena faktor kebetulan. Karena itu, tidak ada makna dalam hidup ini. Dan untuk itu, kita tidak perlu susah payah mencari makna hidup.

Lagipula secara pragmatis, manusia bebas untuk menentukan makna dan tujuan hidupnya. Tidak ada sebuah makna objektif yang harus diikuti oleh seluruh manusia dalam segala zaman. Semua tujuan bisa dibenarkan, karena kitalah penentu dari tujuan tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan telah mengubah jalan perkembangan manusia dari yang sebelumnya hanya berusaha untuk mengatasi wabah bencana, peperangan, dan kemiskinan, menjadi upaya pencarian yang serius menuju imortalitas dan pengembangan kehidupan sampai titik kebahagiaan tertinggi. Ketika semuanya sudah berkembang, ketika dunia ini sudah maju, maka dua tujuan itulah yang menjadi panduan bagi perjalanan hidup manusia (Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia [Terj. Yanto Musthofa; Ciputat: Alvabet, 2018]).

Tujuan pertama berkaitan erat dengan perjuangan melawan usia tua. Manusia akan selalu berjuang untuk mempertahankan hidup. Jikalau memungkinkan bahkan terus mengembangkan kajian tentang makhluk pascamanusia yang bisa hidup selama-lamanya. Manusia ingin mencapai keabadian. Dalam dunia ini, kita bisa menerima, mengingkari, atau melawan kematian. Dengan semua kemajuan teknologi dan riset yang ada, manusia mulai membuka ruang pada pilihan yang ketiga.

Tujuan kedua yang lebih penting dan bisa dijalani saat ini adalah mengembangkan kehidupan. Manusia ingin menjadi bahagia. Tujuan dan makna hidup manusia adalah mengejar kebahagiaan. Kebahagiaan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yakni kebahagiaan psikologis dan biologis. Kebahagiaan psikologis bergantung pada ekspektasi. Seseorang dikatakan bahagia ketika ia memperoleh apa yang ia inginkan. Kebahagiaan adalah ketika kita berhasil mencapai ekspektasi kita. Kebahagiaan biologis bersumber dari kondisi biokimia. Kebahagiaan itu hanya merupakan sensasi ragawi yang menyenangkan kita. Sensasi itulah yang memuaskan kita.

Sudut pandang teis
Pandangan di atas tentu bertentangan dengan apa yang secara umum dipahami dalam sudut padang teisme. Orang yang memercayai Tuhan adalah orang yang seharusnya juga mengatakan bahwa hidup ini memiliki makna. Mengapa? Alasan pertama berkaitan dengan adanya kesadaran (consciousness). Meskipun hal ini sulit didefinisikan, namun tetap diyakini kebenarannya bahwa manusia memiliki kesadaran. Keberadaan kesadaran diakui secara intuitif. Setidaknya ada dua macam kesadaran yang manusia miliki, yang menyebabkan manusia mencari makna dan tujuan hidupnya.

Pertama, kesadaran bahwa dirinya ada (dan bukan tidak ada) - tidak bisa di antaranya - dengan kompleks dan akurat. Sesuatu yang tidak ada tidak mungkin sadar. Sebagai contoh, orang mati tidak mungkin menginginkan uang, meskipun semasa hidupnya ia menyukai uang. Manusia bukan hanya menyadari bahwa dirinya ada (dan bukan tidak ada), melainkan juga diikuti dengan kesadaran bahwa dirinya ada sebagai pribadi yang sedemikian kompleks dan akurat. Dengan demikian, keberadaannya pasti memiliki alasan.

Sebuah ilustrasi akan diberikan kepada kita untuk mempermudah memahami hal ini. Istana pasir yang terlihat kompleks dan rumit tidak mungkin terjadi secara kebetulan karena desiran ombak atau menciptakan bentuk sendiri bersama dengan pasir-pasir lain yang merasa bosan. Kerumitan dan kompleksitasnya menyiratkan seorang desainer di baliknya. Hal ini secara logis menuntut kita untuk bertanya, “Untuk apa istana pasir itu dibuat?” Sebab si pembuat pasti memiliki tujuan, rencana, dan maksud ketika mendirikan sebuah istana pasir. Dengan kata lain, ketika sesuatu ada dengan segala kompleksitas, kerumitan, dan akurasinya, logika kita menunut keberadaan sang desainer. Dari sinilah mulai muncul pertanyaan mengenai makna dan tujuan hidup, “Untuk apa kita diciptakan dengan segala kompleksitas, kerumitan, dan akurasinya?”

Kedua, kesadaran bahwa dirinya akan tidak ada (mati). Dahulu kita pernah tidak ada. Saat ini kita ada. Suatu saat kita tidak ada. Ketiadaan kekal tidak mungkin memiliki makna. Keberadaan hidup manusia di antara dua ketiadaan membuat manusia bertanya apa yang menjadi makna kehidupan. Pergumulan mengenai asal mula munculnya kesadaran tidak akan pernah terjawab dengan penjelasan bahwa kesadaran adalah sebuah sistem kehidupan yang sudah ada atau sebagai sebuah proses yang sudah terjadi. Hal ini tidak menjawab pertanyaan, melainkan hanya menciptakan persoalan baru. Jika kesadaran bukanlah sesuatu yang bersifat supranatural (di atas natur), melainkan hanya dipahami sebagai reaksi-reaksi dari proses yang natural, maka tidak mungkin ada makna spiritual di dalam diri manusia. Kita tidak ada bedanya dengan hukum gravitasi yang diterima tanpa pertanyaan. Manusia tidak pernah mempertanyakan mengapa harus ada hukum tersebut dan mengapa hukumnya harus seperti itu.

Tanggapan seperti ini hanya menunjukkan bahwa kesadaran memang sulit untuk dibantah. Konklusi yang paling masuk akal adalah kita didesain dan dirancang dengan tujuan dan makna. Keberadaan kesadaran menjadi dasar pencarian makna hidup objektif yang nantinya akan menolong manusia untuk menemukan makna hidup subjektif (personal).

Hal senada dijelaskan oleh C. S. Lewis dalam karya monumentalnya yang berjudul The Problem of Pain, “Lalu, setelah genap waktunya, Allah membuat organisme ini tiba-tiba merasakan semacam kesadaran yang baru, baik secara psikologis maupun fisiologis, yang bisa berkata “Aku” dan memandang dirinya sebagai sebuah objek, yang mengenal Allah, yang bisa memberikan penilaian-penilaian tentang kebenaran, keindahan, dan kebaikan dan yang begitu jauh melampaui waktu sehingga ia bisa mengenali waktu yang sudah berlalu.”

Dasar pencarian makna hidup bukan hanya berangkat dari pemahaman akan keberadaan kesadaran, melainkan juga berkaitan erat dengan adanya pilihan. Bukan karena pilihan kita benar baru kemudian hidup kita bermakna. Keberadaan pilihan itu sendiri menunjukkan adanya makna. Jika tidak ada pilihan, maka hidup manusia sudah ditentukan (determinis), sehingga lebih memungkinkan untuk ketiadaan makna (meskipun keberadaan sesuatu tetap membutuhkan makna).

Untuk memahami lebih lanjut, kita perlu membahas apa yang disebut sebagai hukum pengambilan keputusan dalam sebuah pilihan. Pertama, pilihan yang kita ambil dimulai dari logika yang paling sederhana sampai yang paling rumit, seturut dengan bukti petunjuk / rasio yang memimpin. Kedua, kita memilih berdasarkan cara yang paling mudah. Ketiga, kita memilih berdasarkan dampak yang paling menguntungkan.

Dari tiga prinsip ini, kita bisa mempersoalkan keberadaan di antara dua ketiadaan. Mengapa ketiadaan justru menjadi keberadaan? Jika dari awal sudah tidak ada, bukankah lebih mudah untuk tetap tidak ada? Dalam hal ini evolusi menjadi tidak masuk akal; bukankah lebih besar kemungkinannya untuk tidak ada daripada menjadi ada melalui segala kerumitan proses yang harus dilalui? Bukankah tidak ada lebih menguntungkan karena tidak perlu memikirkan apa-apa? Jadi, mengapa tiba-tiba ada? Jika logika dasar menuntun kita untuk memilih ketiadaan (yang mana pada kenyataannya ternyata bukanlah sebuah ketiadaan, melainkan keberadaan), maka persoalan ini mengarahkan kita untuk mempertanyakan makna dan tujuan keberadaan. Apa sebabnya muncul keberadaan dari sebuah ketiadaan? Why is there something rather than nothing?

Prinsip dasar tadi dapat dikembangkan dengan argumentasi bunuh diri (Leo Tolstoy yang dikutip oleh Thomas V. Morris dalam buku Making Sense of It All [Surabaya: Momentum, 2002]) seperti dijelaskan oleh premis-premis dan kesimpulan berikut ini.

·         P1: Saya harus menghindar dari dunia yang buruk, sejauh saya berkuasa melakukannya
·         P2: Hidup yang sama sekali tak masuk akal, yang tidak berarti, merupakan hal yang buruk
·         P3: Hidup saya benar-benar tak masuk akal dan tak berarti
·         P4: Sayalah yang berkuasa menghindari dunia di mana saya hidup
·         K: Saya harus menghindar dari dunia di mana saya hidup

Premis 1 menunjukkan pilihan yang jauh lebih sederhana, mudah, dan menguntungkan. Premis 2 dan premis 3 menunjukkan presuposisi ateisme apabila hidup ini terjadi secara kebetulan dan tanpa pencipta. Keberadaan yang tanpa makna adalah hal yang buruk dan mengerikan. Premis 4 menunjukkan bahwa karena saya sudah ada, maka saya berkuasa untuk menentukan pilihan: (1) tetap menjalani hidup yang terjadi karena kebetulan; tidak punya arti dan buruk, atau (2) mengakhiri hidup saya dengan cara bunuh diri. Hukum pengambilan keputusan mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa yang paling sederhana, mudah, dan menguntungkan adalah bunuh diri (kesimpulan yang paling masuk akal). Apabila ateisme benar, hidup ini adalah hidup yang sangat mengerikan.

Lalu mengapa ada orang, bahkan ateis sekalipun, tetap memutuskan untuk hidup? Mengapa manusia tidak henti-hentinya berusaha untuk terus ada dan bahkan berusaha untuk hidup selama-lamanya? Seberapa besar kemungkinan keberhasilan dari upaya seperti ini? Apakah ada bukti keberhasilan orang-orang yang sudah menjadi abadi? Lebih jauh, bukankah kita semua (termasuk ateis) mendambakan kebahagiaan selama kita ada? Bukankah untuk mencapai bahagia itu susah? Jika demikian, mengapa tidak mengambil cara yang paling mudah, yaitu bunuh diri? Bukankah bunuh diri tidak akan membuat kita mengejar kebahagiaan lagi?

Eksitensi penderitaan adalah alasan ketiga yang mendasari pencarian makna dan tujuan hidup manusia. Penderitaan merupakan sebuah fakta universal-personal, di mana pada umumnya direspons dengan mempertanyakan alasan kondisi tersebut terjadi/menimpa diri manusia. Fakta ini menunjukkan (1) adanya sebuah pelanggaran dari kondisi yang seharusnya dan (2) adanya sebuah desain kondisi.

Sebagai contoh adalah apa yang terjadi ketika pensil yang dipatahkan. Pensil tidak bisa melawan. Jika dia bisa berbicara dan dia tahu bahwa dia didesain untuk menulis, maka dia akan merasa tidak digunakan secara tepat guna. Demikian halnya dengan manusia yang mengalami penderitaan. Respons pertama dari seseorang yang ditimpa penderitaan adalah bertanya, “Kenapa ini harus terjadi?” Pertanyaan itu menyiratkan bahwa manusia tahu bahwa dirinya bukan didesain untuk menderita. Dengan demikian, maka kehidupan ideal (yang baik kondisinya) bukanlah sekadar hasil acak yang kebetulan bertahan hidup. Jika kehidupan itu didesain, maka kehidupan memiliki makna dan tujuan. “Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan, karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.” (Victor E. Frankl, Man’s Search for Meaning [Terj. Haris Priyatna; Jakarta: Naora Books]).

Makna hidup manusia: mengapa melalui Injil?
Kekristenan mengatakan bahwa hidup manusia memiliki makna. Lebih jauh, keunikan dan superioritas kekristenan dalam hal ini adalah bagaimana Injil menjawab lebih dari semuanya itu. Analisa pertama bersumber dari dasar kebutuhan Injil sebagai tesis pemberian (the endowment thesis), “Sesuatu bermakna apabila dan hanya jika diisi makna atau signifikansi oleh suatu pribadi yang punya tujuan atau oleh kelompok pribadi semacam itu.” Sesuatu tidak mungkin langsung bermakna secara intrinsik. Kita bermakna karena kita diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan (Kej. 1:26-27). Makna kita bersumber dari Pribadi yang memiliki tujuan. Tidak ada orang yang menciptakan sesuatu hanya untuk dibuang. Tidak ada orang yang menciptakan sampah. Lalu siapakah yang bisa dan layak memberikan makna kepada sesuatu, dalam hal ini kepada kehidupan manusia? Apakah manusia itu sendiri, lingkungan/kelompok, atau Tuhan?

Pertama, pemberi makna harus lebih otoritatif daripada yang diberi makna (berotoritas berarti mempunyai makna secara legal). Sebagai ilustrasi untuk hal ini adalah kartu garansi. Fungsi kartu garansi bukan untuk mengklaim ketika barang itu rusak, namun sebagai identitas barang: yang membuat produk itu adalah perusahaan A. Itulah sebabnya kalau terjadi apa-apa dengan barang yang dimaksud, hanya perusahaan A yang secara legal berhak untuk melakukan sesuatu kepada produk buatannya. Dengan kata lain, yang bisa melakukan reparasi seutuhnya terhadap barang yang rusak haruslah sang pendesain. Dengan cara yang sama kita dapat mengatakan bahwa yang berhak untuk memberikan makna bagi kehidupan manusia adalah yang mendesain kehidupannya. Makna yang seutuhnya tidak mungkin datang dari diri sendiri atau lingkungan. Kedua, pemberi makna harus lebih berkuasa daripada yang diberi makna (berkuasa berarti mempunyai kemampuan yang lebih). Makna yang diberikan dari yang lebih berkuasa adalah makna yang utuh. Hal ini sekali lagi tidak mungkin diberikan dari diri sendiri atau lingkungan, kecuali sang pendesain yang memberinya. Ketiga, pemberi makna harus lebih tahu daripada yang diberi makna (lebih tahu berarti mempunyai pengetahuan yang lebih). Yang lebih tahu itulah yang bisa memberitahu apa makna hidup kita. Ketiga ciri ini mengarah dan mengacu kepada Tuhan sebagai jawaban yang lebih masuk akal daripada semua pilihan yang lain.

Dasar kebutuhan Injil yang kedua adalah argumentasi dari kerinduan (desire). Setiap kerinduan manusia selalu memiliki alat untuk memuaskannya. Tidak ada satupun di dalam dunia ini yang bisa memberikan kepuasan. Kerinduan manusia hanya bisa dipuaskan oleh Tuhan. Apakah kerinduan terdalam manusia yang tidak pernah terpuaskan?

Pertama, kerinduan akan relasi. Hal mendasar dalam hidup manusia yang dibutuhkan oleh siapapun dari lingkungan manapun dan budaya apapun adalah relasi. Tidak mungkin manusia hidup dengan dirinya sendiri: hal itu tidak akan memuaskan. Untuk memperjelas hal ini saya akan memberikan dua contoh dari kehidupan sehari-hari: ilustrasi anak nakal dan penggunaan media sosial, secara khusus instagram.

Suatu ketika ada seorang anak yang sangat nakal dan sangat sering mendukakan hati orang tuanya. Kenakalannya membuat dirinya sangat sulit diatur. Dia selalu memberontak terhadap perintah dan larangan. Peringatan lembut sampai pukulan keras dengan tongkat pun sudah pernah dilayangkan. Segala cara, daya, dan upaya sudah dicoba untuk mengendalikan kenakalannya. Tidak ada cara yang kunjung berhasil menghentikannya. Semuanya hanya berujung pada kesia-siaan belaka. Sampai tiba saatnya di mana kedua orang tuanya sudah menyerah untuk mengurus anak ini. Mereka berkata, “Apapun yang kamu lakukan akan kami biarkan. Silakan hidup sesukamu. Uruslah dirimu sendiri.”

Sang anak pun merasa gembira dengan keputusan orang tuanya. Terdapat kebahagiaan yang tak terkatakan di dalam hatinya. Bak bunga yang baru mekar, demikianlah wajahnya berseri-seri sepanjang hari. Tidak ada lagi kekangan dan amarah orang tua. Tidak ada lagi aturan yang membelenggu. Sejak saat itu, mulai banyak kebiasaan orang tuanya yang berubah. Bangun siang tidak dimarahi. Bolos sekolah sesuka hati. Bermain sepuasnya pun dibiarkan begitu saja. Inilah kemerdekaan yang sejati. Hidup tanpa aturan siapapun. Hidup sesuka diri sendiri.

Kebosanan perlahan mulai menghinggap dalam diri anak ini. Dia mulai bersekolah dan belajar dengan giat. Dia berharap supaya bisa mendapatkan nilai yang bagus. Sesuai dugaan, dia mendapatkan nilai 100. Tak lama berselang, dia bersegera membawa kabar baik ini kepada kedua orang tuanya. Harapannya tentu saja adalah pelukan kasih sayang dan pujian setinggi-tingginya kepada dirinya. Jauh panggang dari api, orang tuanya hanya diam seribu bahasa ketika sang anak menyodorkan nilai 100-nya. Alih-alih memuji, orang tuanya justru memalingkan muka.

Sang anak berpikir mungkin kejadian itu hanya berlangsung satu kali. Mungkin orang tuanya sedang mengalami persoalan besar. Lain waktu dia mencoba hal yang sama. Nilai 100-nya dia sodorkan kepada kedua orang tuanya. Tidak ada yang berbeda. Peristiwa yang sama kembali terulang. Orang tuanya tidak bereaksi apa-apa.

Tidak menyerah dengan semuanya itu, anak ini mulai mengubah tingkah lakunya. Dia mulai merapikan kamarnya, mencuci piring, membantu membereskan rumah, bahkan mulai membiasakan bangun sepagi mungkin. Pendeknya, dia berubah menjadi anak yang rajin dan baik hati. Satu yang pasti: dia mengharapkan pujian dan pelukan kasih sayang kedua orang tuanya. Namun situasi tak banyak berubah. Orang tuanya tetap diam seribu bahasa. Tidak ada pujian dan apresiasi. Tidak ada pelukan dan kasih sayang. Hingga suatu ketika terjadilah peristiwa berikut ini.

Dengan wajah berlinang air mata dan rasa kesepian yang amat mendalam, sang anak mendatangi kedua orang tuanya. Tongkat yang biasa digunakan ayahnya untuk memukul dia saat melakukan kenakalan pun dibawa serta ke hadapan kedua orang tuanya. Sang anak berkata dengan tersedu-sedu, “Jika aku berbuat salah, maki saja! Jika aku nakal, pukul saja! Namun aku mohon dengan sangat, jangan diamkan aku.”

Contoh lainnya adalah apa yang selama ini melanda generasi muda: instagram. Di dalamnya, janji tentang penerimaan dan relasi dicoba dipenuhi. Banyak orang berlomba-lomba menampilkan dirinya yang terbaik. Semua sumber daya yang ada dihabiskan untuk pose terbaik di instagram. Harta kekayaan adalah tanda hidup yang bermakna. Model berpakaian mulai melangkahi batas-batas adat ketimuran. Kehidupannya adalah apa yang dilakukan idolanya.

Fenomena ini melanda semua kalangan dan jenis kelamin. Laki-laki mencoba memperlihatkan maskulinitasnya dalam berbagai cara. Fisik yang kuat adalah lambang citra diri yang mumpuni. Penampilan adalah segala-galanya. Lebih baik kalah nasi daripada kalah aksi. Pameran ketampanan adalah candu yang memabukkan. Tidak ketinggalan, para perempuan mulai menggelontorkan sejumlah besar uang untuk menjaga dirinya agar tetap terlihat cantik. Belahan dada mulai dipamerkan di mana-mana. Berpakaian seminim mungkin adalah tanda keutuhan seksual. Ketelanjangan adalah kebanggaan. Kecantikan adalah mahkota kebesaran.

Kedua fenomena di atas menggambarkan bahwa kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah relasi. Kita ingin dihargai, dipuji, diterima, dan diakui oleh sekitar. Segala cara kita lakukan demi hal tersebut. Namun tahukah kita? Semua upaya pencarian relasi yang bermakna tidak ada bedanya dengan fatamorgana. Apa yang instagram tawarkan untuk memberikan kita relasi dan penerimaan hanyalah utopia dan kebohongan belaka. Sifat keduniawian membuat dosa menjadi tampak normal dan kebenaran menjadi terlihat aneh. Tidak ada yang lebih tragis daripada orang yang salah menilai apa yang paling berharga dalam hidupnya.

Ketika Allah datang ke dalam dunia dalam diri Yesus Kristus, Ia datang untuk berelasi dengan manusia. Inilah yang Allah sediakan bagi manusia. Ia bukan hanya menyatakan itu dari atas sana. Kabar baik ini diberikan bagi kita yang selama ini mencari relasi penerimaan dengan teman, pacar, orang tua, instagram, dan hanya mendapati bahwa semuanya itu ternyata mengecewakan. Kita semua mencari relasi yang hangat dan tidak pernah mendapatkannya. Kita semua mencari relasi yang tidak pernah menyakitkan dan mengecewakan. Kabar baik ini mungkin tidak seperti yang dunia harapkan, namun inilah yang dibutuhkan oleh seluruh dunia.

Injil merupakan penyataan tentang diri Allah yang berinkarnasi. Di dalam diri Yesus Kristus, Ia datang dan berkata, “Aku menyediakan relasi yang seperti itu.” Dia bersedia disalib supaya setiap orang dapat datang kepada Bapa. Demi mendapatkan kita, Bapa rela kehilangan Anak-Nya. Yesus kehilangan hubungan-Nya dengan Bapa supaya kita bisa memiliki hubungan dengan Allah sebagai Bapa. Sungguh tak terbayangkan! Relasi seperti apa yang hendak Allah pulihkan dengan manusia sampai-sampai Ia memalingkan muka terhadap Anak-Nya dan membiarkan Yesus menerima murka ilahi berupa maut? Demi membangun relasi dengan manusia, relasi Tritunggal terputus. Yesus ditinggalkan Bapa-Nya.

Lebih jauh, kita akan mendapati betapa ironisnya hal yang manusia lakukan. Kita berpikir bahwa kita akan mendapatkan relasi yang menyenangkan jika kita menunjukkan siapa kita yang terbaik. Kita berpikir bahwa semua kelebihan yang kita miliki adalah syarat untuk diterima orang lain. Namun Injil berkata, justru ketika kita berada dalam kondisi terpuruk karena dosa, Yesus tetap mengasihi kita. Semua kasih dari orang lain memiliki syarat dan ketentuan. Hanya Injil yang bisa memberikan kasih yang tanpa syarat. Kalau kita berpikir bahwa Allah mengasihi kita karena kebaikan, keberhasilan, dan kekayaan kita, maka kita perlu bertanya apa yang menyebabkan Kristus tergantung di atas kayu salib.

Yesus mati bagi kita yang menyebabkan rasa sakit-Nya di atas kayu salib, dan Ia mati bagi kita saat kita sedang memberontak kepada-Nya, bukan saat kita sedang mencari-Nya. Bahkan ketika kita tidak berusaha apa-apa, kita mendapatkan anugerah yang tidak layak kita dapatkan melalui salib. Yesus terlebih dahulu ditelanjangi untuk kita, ketika kita menampilkan tubuh yang telanjang di instagram. Apa yang manusia cari di instagram, sudah diberikan Yesus di atas kayu salib.

Kedua, kerinduan akan kasih dan pengampunan. Kesadaran manusia bahwa dirinya tidak akan pernah lepas dari pelanggaran dan kesalahan membuat setiap orang bukan hanya menginginkan sebuah relasi, tetapi juga relasi kasih. Setiap orang ingin diampuni ketika dia berbuat salah. Pada kenyataannya, kita mendapati bahwa maaf dari orang lain juga penuh syarat, ketentuan, dan keterbatasan.

Untuk memahami betapa berharganya kasih dan pengampunan Allah, kita perlu memahami betapa seriusnya dosa manusia. Makna kedatangan Kristus ke dalam dunia akan sulit dimengerti jika kita tidak memahami kebobrokan manusia karena dosa. Tidak ada yang lebih mengerikan daripada orang yang berada dalam kondisi berdosa dan dia menjalankan kehidupannya seakan segala sesuatunya baik-baik saja. Sin will rarely present itself to us in its true colors, saying ‘I am your deadly enemy and want to ruin you forever in hell.’ Kebohongan yang banyak orang percaya adalah mereka berpikir bahwa mereka adalah orang yang baik-baik saja dan hidup mereka tidak bermasalah. “Total depravity is simply another way of saying that there is no area of your life about which you can say, ‘I don’t need Jesus for that’. Remember, we are great sinners, in the hand of angry God!”

Tingkat keseriusan masalah dapat diukur dari siapa yang harus turun tangan menyelesaikan masalah itu. Dalam menyelesaikan masalah dosa, Allah sampai harus turun ke dunia. Apa artinya? Utang dosa kita yang besar terhadap Allah menuntut pembayaran yang tak terbatas, dan satu-satunya cara di mana Allah dapat mengampuni kita adalah dengan membayarnya sendiri.

Tidak ada hal baik dalam diri kita yang membuat Allah berkenan kepada kita. Namun Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita melalui kematian Kristus di atas kayu salib. Karena itulah kita mendapatkan kasih dan pengampunan Allah. Injil memenuhi kebutuhan terdalam umat manusia, yaitu kasih sayang. Kita tidak akan mengerti seberapa agungnya tiang salib dan kubur yang kosong sampai kita menyadari bahwa kita adalah makhluk yang hina, tak berdaya, dan penuh dosa di hadapan Allah, dan betapa mengerikannya relasi yang terpisah dengan Allah.

Injil merupakan penyataan tentang kasih Allah yang mahakasih. Itulah yang ditawarkan oleh kematian dan kebangkitan Kristus. Kita semua adalah manusia berdosa: layak untuk dibuang dan dihukum dalam kekekalan. Begitu mudahnya kita mengakui bahwa kita adalah anak Allah yang sudah ditebus melalui pengorbanan Kristus, tetapi dengan sama mudahnya juga kita jatuh ke dalam dosa yang karenanya Kristus mati.

Namun, “Jesus sees our sin more clearly than anyone, yet he loves us more than anyone.” Yesus mengasihi dan mau mengampuni segala pelanggaran kita. Tiap kali kita malu menghadap takhta Tuhan yang kudus karena kegagalan yang berulang, Bapa di surga tidak pernah menghitung dan mengingat-ingat kesalahan kita yang lalu. Setiap kali adalah kali pertama. Pengampunan-Nya selalu tersedia. Tuhan tak pernah gagal mengasihi orang yang gagal. Kegagalan kita tidak akan pernah membuat Allah memalingkan wajah-Nya terhadap kita. “We have given God countless reasons not to love us. None of them have been strong enough to change Him,” kata seorang teolog yang bernama Paul Washer.

Ketika hukum karma mengatakan bahwa kita mendapatkan apa yang layak kita dapatkan, kekristenan menyatakan bahwa Yesuslah yang mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan. Inilah pengampunan yang manusia butuhkan. Hanya Injil yang bisa menjawabnya melalui karya penebusan Kristus di atas kayu salib.

Dosa kita memang besar, tetapi lebih besar lagi kasih-Nya kepada kita. Tuhan sudah mengampuni semua kesalahan, penyesalan, kekecewaan, kekeliruan, pelanggaran, dan dosa orang-orang yang memercayai Injil Yesus Kristus. Jangan biarkan kita hidup dengan perspektif masa lalu yang salah. Jangan biarkan diri kita dikuasai oleh perasaan bersalah yang berlebihan sehingga meremehkan anugerah dan kasih Allah.

Kita memang tidak pantas dikasihi oleh Tuhan, namun Kristus mengasihi kita dengan cara menyelesaikan semua dosa kita di atas kayu salib; baik dosa masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Tuhan tahu kita akan melakukan banyak dosa, tetapi Tuhan yang sama toh tetap mati bagi kita. Itulah kasih karunia Tuhan yang besar. Tuhan adalah Allah yang penuh dengan kasih.
  • Agunglah kasih Allahku, tiada yang setaranya; neraka dapat direngkuh, kartikapun tergapailah. Kar’na kasihNya agunglah, Sang Putra menjelma, Dia mencari yang sesat dan diampuniNya.
  • ‘Pabila zaman berhenti dan tahta dunia pun lebur, meskipun orang yang keji telah menjauh dan takabur, namun kasihNya tetaplah, teguh dan mulia. Anug’rah bagi manusia, dijunjung umatNya.
  • Andaikan laut tintanya dan langit jadi kertasnya, andaikan ranting kalamnya dan insan pun pujangganya, takkan genap mengungkapkan hal kasih mulia, dan langit pun takkan lengkap memuat kisahnya.
  • Refrein: O kasih Allah agunglah! Tiada bandingnya! Kekal teguh dan mulia! Dijunjung umatNya.

Ketiga, kerinduan akan kebahagiaan. Setiap orang ingin bahagia. Ateis pun ingin bahagia. Apakah kebahagiaan yang sejati itu ada? Jika ada, apakah itu? Bagaimana cara mendapatkannya? Ke mana kita harus mencarinya? Kebahagiaan manusia adalah ketika kita bisa bersama-sama dengan Tuhan dan menikmati relasi dengan-Nya. Injil merupakan penyataan tentang kebahagiaan hidup dalam Allah. Injil adalah jawaban akan pencarian kebahagiaan yang sejati karena Tuhan bukan memberikan sesuatu di luar diri-Nya, namun Ia memberikan diri-nya sendiri kepada kita. Di luar Kristus, kita tidak mendapatkan apa-apa selain kesia-siaan dan penghukuman kekal. Sebelum kita mengalami kemiskinan total di dalam Allah, kita tidak akan mengerti apa artinya kebahagiaan yang sejati.

Kebahagiaan yang tidak pernah kita dapatkan di dunia justru ditawarkan dalam melakukan apa yang benar. Ketika banyak orang lebih menyukai hal-hal yang menyenangkan daripada hal-hal yang benar, kita harus menegaskan bahwa Kristus jauh lebih berharga daripada hal-hal yang kita tinggalkan untuk mengikut-Nya. Kristus memberikan kedamaian bagi kita yang tak bisa dunia berikan, sebab masalah terbesar kita yaitu dosa sudah diselesaikan di atas kayu salib. “Life with God is not immunity from difficulties, but peace in difficulties.”

Dasar kebutuhan Injil yang terakhir adalah jawaban atas penderitaan dan kematian. Pertama, Injil menyatakan Allah yang turut merasakan penderitaan manusia. Allah bukan hanya mencoba mengerti pergumulan manusia jauh di atas sana. Itu adalah omong kosong. Allah tidak terbatas. Di surga mana ada penderitaan? Mana mungkin Allah bisa merasakan penderitaan?

Orang Kristen dikuatkan dan dihibur karena kenyataan bahwa Allah menderita bersama kita dan bahkan masuk ke dalam penderitaan yang kita alami, khususnya di dalam Pribadi Yesus Kristus. Ia menderita di kayu salib; memalukan dan penuh penghinaan. Sungguh, Allah yang tidak ikut menderita tidak kalah buruk daripada Iblis. Allah yang tidak peduli akan menghasilkan umat manusia yang juga tidak peduli.

Jika direnungkan lebih dalam, apakah penderitaan yang paling besar? Penderitaan yang terbesar adalah hukuman kekal di neraka. Orang-orang di neraka akan dijauhkan dari hadirat Tuhan (2Tes. 1:9b). Kehadiran Tuhan di sini jelas bukan secara spasial (berkaitan dengan tempat). Allah adalah mahahadir. Ia tidak bisa tidak ada di suatu tempat, karena Ia lebih besar daripada semua tempat. Ketiadaan hadirat Tuhan berarti ketiadaan kehadiran-Nya secara relasional. Ketiadaan hadirat Tuhan berarti hukuman ilahi. Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden (Kej. 3:22-23). Kain pergi dari hadapan Allah (Kej. 4:16). Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, ketidakadaan hadirat Tuhan di neraka bersifat mutlak dan kekal. Mutlak, dalam arti tidak akan ada kebaikan ilahi sama sekali. Tidak akan ada anugerah yang ditunjukkan oleh Allah. Kekal, dalam arti tidak akan berhenti atau berubah. Orang-orang yang berada di neraka juga akan dijauhkan dari kemuliaan kekuatan Tuhan. Kalau kehadiran Tuhan lebih berkaitan dengan kebaikan-Nya, kemuliaan kekuatan-Nya lebih ke arah pertolongan-Nya. Tuhan tidak akan memberikan pertolongan lagi. Tidak ada jalan keluar bagi penderitaan mereka.

Untuk memahami keseriusan hukuman yang akan menimpa orang-orang di neraka, marilah kita membandingkannya dengan penderitaan di dalam dunia. Kesengsaraan apapun di dunia ini masih dibalut dengan kebaikan dan anugerah. Kita tetap bisa menikmati hidup di dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa. Sebagai contoh, masih ada musim yang teratur sebagai salah satu wujud kebaikan Allah (Mat. 5:45; Kis. 14:17). Sejahat apapun hidup seseorang di dunia, dia tetap merasakan kasih Allah. Sakit penyakit pun masih tertangani dengan dokter, obat, dan perawat. Masih ada orang-orang yang menghibur. Untuk penyakit yang paling parah sekalipun masih ada obat penghilang rasa sakit. Bahkan masih ada kematian sebagai akhir dari penderitaan jasmaniah. Di neraka, semua ini tidak akan ada lagi. Allah tidak akan menyisakan anugerah-Nya sama sekali. Ini adalah anggur murka Allah yang tanpa campuran (Why. 14:10).

Karena penderitaan tersebut tidak ada tandingannya dengan apapun yang ada di dunia ini, kita sulit membayangkan betapa hebatnya penderitaan di neraka. Itulah sebabnya Alkitab menggunakan beragam metafora untuk mengungkapkan hal itu. Tidak ada satu metafora pun yang sebanding dengan realita di neraka. Kumpulan metafora pun tetap masih kurang. Penderitaan di neraka tidak terbayangkan!

Dengan kata lain, hukuman kekal bukan berarti Allah mendesain sebuah tempat di mana ada api yang menyala-nyala; sebuah tempat di mana lidah orang yang suka berbohong terus-terusan dipotong namun dapat muncul lagi dan dipotong lagi sampai selama-lamanya. Neraka adalah ketika Allah menghentikan seluruh kasih yang selama ini telah diberikan kepada manusia secara total.

Dan pederitaan sebesar inilah yang Yesus alami ketika menanggung upah dosa manusia di atas kayu salib. Ia kehilangan relasi dengan Allah sehingga berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesus telah mengalami siksa neraka: perceraian dari kasih Allah yang kekal sebagai penderitaan yang paling mengerikan. Ia meminum anggur murka Allah yang tanpa campuran. Tidak ada kasih dari Allah ketika Yesus mati di kayu salib.

Inilah bukti bahwa Allah menjadi manusia, sama seperti kita, untuk merasakan pergumulan, kesulitan, bahkan penderitaan kita. Penghiburan yang sejati dari semua masalah kehidupan bukan datang dari tempat hiburan malam atau komunitas-komunitas tertentu. Penghiburan yang sejati hanya datang dari Allah yang telah mengalami penderitaan dalam diri Yesus. Ia sudah menyelesaikan segala penderitaan yang paling mengancam hidup manusia, bahkan kematian karena murka Allah sudah ditanggung oleh-Nya.

Ia tidak berbuat dosa, namun Ia yang mengalami hukuman dosa. Tangan kita yang berbuat dosa, tetapi tangan-Nya yang terpaku. Pikiran kita yang jahat telah membuat pikiran-Nya yang tidak pernah dipakai untuk memikirkan yang jahat bersanding dengan mahkota duri. Kaki-Nya yang tidak pernah melangkah pada jalan-jalan yang sesat justru dipaku. Ketika Ia berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, sadarkah kita bahwa kitalah yang seharusnya berteriak demikian? Ia mengalami teriakkan itu supaya selama kita hidup maupun kita mati, kalimat itu tidak pernah keluar dari mulut kita (siapakah yang sanggup memisahkan kita dari kasih Kristus?).

Hal seperti ini hanya ada di dalam Injil. Kematian Kristus di kayu salib bukan hanya menunjukkan betapa besarnya kasih Allah, tetapi juga murka Allah yang dipuaskan. Di atas kayu salib, Kristus tidak hanya menuntaskan masalah terbesar umat manusia (dosa), tetapi Ia juga mengalahkan ketakutan manusia yang terbesar (maut). Bahkan kematian pun tidak akan memisahkan kita dari kasih Kristus (Rm. 8:35-39). Yesus mengalami maut supaya kita boleh terlepas dari kematian kekal. Injil menyatakan pengampunan Allah atas kematian kekal.

Itulah sebabnya bagi Paulus, mati adalah keuntungan (Flp. 1:21b). Karena Injil adalah jawaban atas penderitaan dan kematian. Kematian jasmani adalah awal dari kehidupan kekal. Ketika kita mati, kita mendapatkan Allah secara utuh. Kematian adalah pintu di mana Tuhan menyambut kita untuk secara utuh bersama-sama dengan-Nya dalam kekekalan. Itulah yang menjadi kebutuhan dan harapan seluruh umat manusia. Jawaban seperti ini hanya disediakan oleh Injil Yesus Kristus. Jauh di dalam hati setiap orang, mereka mencari mencari jawaban seperti ini. Itulah sebabnya kabar baik ini harus terus diberitakan ke semua tempat. Hal ini menegaskan keunikan dan superioritas kekristenan. Lebih jauh, hal ini juga menjelaskan bahwa pergumulan eksistensial manusia hanya bisa terjawab sepenuhnya oleh Injil Yesus Kristus.

Bacaan penting :
  • Andy Bannister, The Atheist Who Didn’t Exist (England: Monarch Books, 2005).
  • Thomas V. Morris, Making Sense of It All (Surabaya: Momentum, 2002).
  • Abdu Murray, Saving Truth: Finding Meaning and Clarity in a Post-Truth World (Grand Rapids: Zondervan, 2018).
  • Ravi Zacharias, Recapture the Wonder (Nashville: Thomas Nelson, 2003).
  • Ravi Zacharias, Can Man Live Without God (Chennai: RZIM Educational Trust, 1994).

Senin, 03 September 2018

Percakapan Penginjilan

Pernahkah kita berpikir bahwa penginjilan terasa begitu berat? Seringkah kita merasa gagal dalam penginjilan karena tidak bisa menceritakan Injil dalam pertemuan kita dengan orang-orang yang belum percaya? Jika kita menjawab “ya” terhadap kedua pertanyaan ini, kemungkinan kita salah memahami apa itu penginjilan. Penginjilan merupakan sebuah proses yang tidak instan dan seringkali memakan waktu yang panjang. Menurut “Engel Scale of Steps to Christ,” ada 16 tahap (lebih) kerohanian seseorang mulai dari “tidak ada kesadaran akan Allah” sampai “memutuskan untuk menyerahkan hidup bagi Yesus” dan terus hingga “pertumbuhan yang berjalan.” Jadi, jika kita sudah menolong teman kita untuk naik satu langkah dalam kerohanian atau relasi mereka dengan Tuhan, kita sudah dapat dikategorikan berhasil dalam penginjilan. Oleh sebab itu, mari kita jangan menjadi kecil hati dan putus asa! Yang sedang kita lakukan, dan yang Tuhan kehendaki, bukanlah kita membawa jiwa-jiwa yang terhilang kepada Kristus (mustahil untuk kita sukses melakukannya karena itu merupakan karya Roh Kudus semata), tetapi kita membawa Kristus kepada jiwa-jiwa yang terhilang.

Hal pertama (bahkan yang terpenting) yang harus dilakukan dalam conversational evangelism adalah mendengarkan (listen). Di dalam penginjilan, kita cenderung terfokus dan secara terburu-buru berpikir untuk menyampaikan Injil tanpa berhenti sejenak untuk berusaha memahami posisi lawan bicara kita. Juga setelah mempelajari apologetika, kita mengira bahwa kitalah yang harus lebih banyak memberikan pembelaan atau jawaban (1Ptr. 3:15), padahal tidak demikian. Kita seringkali lupa akan prinsip paling mendasar ini: “Percakapan yang baik dimulai dengan pendengaran yang baik.”

Mengapa kita perlu mendengarkan dengan baik dalam penginjilan? Setidaknya ada tiga keuntungan yang dapat kita raih darinya:

Pertama, mendengarkan dapat menolong kita untuk memiliki relasi yang baik dengan orang yang bersangkutan. Pada umumnya orang akan lebih menghargai kita jika kita mengutamakan mereka yang lebih banyak berbicara dan dengan sabar menyimak apa yang ada dalam pikiran mereka dan yang mereka percayai.

Kedua, mendengarkan dapat menolong untuk membuat lawan bicara kita merasa aman. Hal ini akan membuat mereka lebih tidak curiga terhadap kita dan bersikap defensif. Jika seseorang sudah merasa dipahami dan didengarkan, mereka dengan sendirinya akan berbicara dengan lebih terbuka dan memudahkan kita untuk lebih menanyakan hal-hal yang dapat membuatnya berpikir jernih.

Ketiga, yang menjadi tujuan utama kita, mendengarkan dapat menolong kita untuk mendengarkan nada-nada sumbang atau ketidakkonsistenan di dalam kepercayaan yang mereka anut. Hal ini adalah yang terpenting bagi kita untuk dapat memahami pandangan mereka dengan baik, sehingga percakapan yang terjadi dapat berjalan dengan baik, tanpa kesalahpahaman yang seringkali menimbulkan perdebatan panas yang tidak perlu.

Dengan kata lain, seni mendengar dengan baik menjadi langkah pertama yang mendasari pendekatan conversational evangelism ini. Sekali lagi, yang menjadi tujuan utama dari mendengarkan ini adalah memahami sebaik-baiknya apa yang menjadi kepercayaan dan kebutuhan orang yang kita injili, karena tidak semua orang sama di dalam memahami ajaran agama mereka. Terkadang, kita menemukan orang yang mengaku diri seorang Buddhis, yang ketika kita gali tentang pandangannya, ia tidak terlalu paham ajarannya sendiri. Ada juga orang yang mengaku Muslim, tetapi ternyata ia mengatakan bahwa semua agama sama saja—bertentangan dengan kepercayaannya sendiri. Atau, kita bertemu seorang Kristen yang ketika berbicara begitu negatif terhadap gereja dan memilih untuk menjadi ateis secara sembunyi-sembunyi.

Maka dari itu, penting sekali di dalam sebuah percakapan, kita budayakan mendengarkan secara aktif dengan lebih banyak bertanya, sebelum cepat-cepat berbicara tentang Injil, supaya lawan bicara kitalah yang lebih dahulu menjelaskan secara tepat apa yang menjadi kepercayaannya. Jika kita berhasil melakukannya, setiap pengalaman penginjilan yang kita dapatkan akan menjadi lebih mulus dan berjalan lancar.

Tahap kedua dari metode conversational evangelism yang akan mengarahkan sebuah percakapan ke level yang berikutnya adalah memperjelas atau mengklarifikasi. Yang menjadi kunci keberhasilan akan hal ini adalah mengajukan pertanyaan yang tepat (asking the right question). Masih sangat berkaitan dengan tahap mendengarkan, kita berusaha untuk memahami secara tuntas apa yang menjadi pengertian seseorang terhadap sebuah isu yang kita diskusikan, baik itu hal-hal yang berkaitan dengan Allah, sains dan agama, keselamatan, etika atau gaya hidup, dan lain-lain. Pada intinya, kita berusaha untuk menganalisa apa yang menjadi keyakinan dan posisi lawan bicara kita.

Ada dua tujuan utama dari klarifikasi dengan menggunakan pertanyaan. Pertama, kita ingin memperjelas penggunaan istilah-istilah atau kata-kata tertentu yang membingungkan atau ambigu. Terkadang sebuah percakapan dapat berakhir dengan perdebatan yang tidak perlu, dikarenakan salah satu atau kedua belah pihak gagal memahami satu sama lain. Sebagai contoh, ketika berbicara dengan seorang Saksi Yehuwa, kita mungkin akan berpikir, ketika mereka menyatakan “Yesus adalah Anak Allah,” bahwa mereka juga percaya akan ketuhanan Yesus. Padahal, jika kita bertanya lebih lanjut, “Apa pemahaman Anda tentang Yesus sebagai Anak Allah?,” kita akan mendapati bahwa mereka menganggap Yesus bukanlah Allah melainkan Yesus hanyalah ciptaan saja (sebagian mereka mengatakan Yesus adalah Mikael sang penghulu malaikat). Istilah yang sama tidak berarti pengertiannya sama.

Kedua, kita ingin supaya lawan bicara kita melihat dengan jelas titik lemah dari keyakinan mereka. Hal ini penting untuk dilakukan karena, pada umumnya, orang tidak akan mau mendengarkan apalagi menerima pandangan kita jika ia masih merasa pandangannyalah yang benar dan belum melihat lubang dalam sistem pemikirannya. Misalnya, pada saat berdiskusi dengan seorang ateis yang tidak mempercayai adanya Allah yang menciptakan dunia ini, kita bisa bertanya: “Apakah berarti alam semesta dan segala isinya muncul dari ketiadaan? Bukankah sesuatu bisa ada karena disebabkan oleh sesuatu atau seseorang? Bagaimana bisa sesuatu bisa ada dari ketiadaan?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa dibutuhkan iman yang lebih besar untuk memercayai bahwa sesuatu atau seseorang bisa ada dari ketiadaan secara acak daripada memercayai adanya Allah yang menciptakan alam semesta dan umat manusia secara keseluruhan.

Hasil yang diinginkan dari pertanyaan-pertanyaan klarifikasi seperti ini adalah mereka mulai merasa ragu (doubt) terhadap pendangannya sendiri, lalu tidak lagi merasa angkuh atau superior (defensive), dan kemudian merasa ingin tahu dan tertarik (desire to know/curious) untuk mendengarkan apa yang kita yakini, bahkan mendengarkan Injil yang menjadi pesan utama yang ingin kita sampaikan. Jika perasaan-perasaan tersebut belum dirasakan oleh lawan bicara kita, mereka tidak akan mau mendengarkan, apalagi merasa perlu untuk menerima pesan yang ingin kita sampaikan.

Bagaimana kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi yang pas dan mampu membuat orang lain meragukan pandangannya sendiri? Tidak ada cara lain, kita harus berusaha keras untuk tidak hanya memahami posisi dan keyakinan kita pribadi, tetapi juga kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kita, guna mencari kebenaran sejati. Dengan demikian, kita dapat lebih berhikmat di dalam memberi jawab kepada orang yang membutuhkan (Kol. 4:2; 1Ptr. 3:15).

Langkah yang ketiga dari metode ini adalah menggali. Menggali merupakan bagian lanjutan dari memperjelas, di mana kita ingin mengetahui sejarah kehidupan dari lawan bicara kita untuk menemukan penghalang utama mereka terhadap Injil serta bagaimana mereka sampai pada kondisi mereka saat ini. Jika sebelumnya kita ingin kejelasan dari apa yang yang mereka pahami terhadap suatu isu yang dibicarakan, dalam tahap ini, kita mau mencari penyebab tersembunyi dari apa yang menghalangi mereka untuk percaya dan mengikut Kristus.

Tujuan utama dari menggali adalah untuk menemukan apakah sesuatu yang memberatkan atau menghalangi seseorang untuk percaya pada Kristus itu bersifat intelektual, emosional, sosial, atau spiritual. Dari langkah kedua, memperjelas, kita tahu bahwa terkadang apa yang terlihat di luar tidak selalu sama dengan yang ada di belakang. Dengan kata lain, tanpa adanya klarifikasi (dengan bertanya), seringkali yang terjadi adalah miskomunikasi dan kesalahpahaman yang mencegah Injil untuk masuk secara mulus.

Namun, pada kenyataannya, banyak orang yang sesungguhnya tidak percaya bukan karena halangan intelektual, tetapi yang lainnya. Misalnya, berkaitan dengan masalah emosional, kita sering mendengar seseorang bertanya, “Jika Allah ada, mengapa ada begitu banyak orang Kristen yang munafik?,” atau “Bagaimana mungkin Allah yang maha kuasa dan maha baik dapat membiarkan begitu banyak kejahatan dan penderitaan di dunia?” Terkadang kita juga mendapati seseorang, karena tekanan sosial, berkata demikian: “Jika aku percaya Yesus, apakah berarti saya harus menentang orang tua saya yang berbeda keyakinan? Apakah saya tidak boleh lagi memberikan penghormatan kepada kakek leluhur saya?” Bisa jadi, kita bertemu dengan orang-orang yang belum siap secara spiritual yang dengan tegas berkata, “Sekalipun kekristenan itu benar dan terbukti, saya tidak mau menjadi orang percaya!” Jadi, penting sekali dalam sebuah percakapan kita berusaha menggali apa yang menjadi penghalang utama yang membuat orang tersebut menolak untuk percaya dan menerima Injil.

Beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan untuk menggali penghalang utama seseorang adalah sebagai berikut:
  • Bolehkah saya tahu apa yang membuat Anda bertanya/berkata seperti itu?
  • Bukti macam apa yang Anda cari yang dapat membuatmu percaya?
  • Mengapa pertanyaan/isu ini penting bagi Anda?
  • Jika saya dapat menjawab pertanyaan Anda, maukah Anda mempertimbangkan untuk percaya kepada Allah dan kekristenan?
Dalam hal menggali, tentu saja Yesus sendiri menjadi suri teladan dalam penerapannya. Kita melihat hal ini ketika seorang muda yang kaya bertanya, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Mrk. 10:17-22), atau pun ketika orang-orang Saduki mau mempertanyakan pandangan Yesus tentang kebangkitan orang mati (Mrk. 12:18-27). Maka dari itu, kita harus senantiasa mengingat, sebagaimana ditandaskan oleh Ravi Zacharias, bahwa di balik setiap pertanyaan ada penanyanya (“behind every question is a questioner”). Kita tidak akan dapat memberikan apologetika dan jawaban yang tepat tanpa menggali apa yang menghalangi seseorang untuk datang kepada Kristus.

Langkah yang keempat dan terakhir ini adalah membangun jembatan di dalam sebuah percakapan kita dengan orang yang belum percaya menuju kepada Injil. Membangun jembatan dalam percakapan berarti kita mencari sebuah titik temu di mana kita dapat mengkomunikasikan Injil secara halus dan mulus. Dengan kata lain, tanpa langkah-langkah sebelumnya seperti mendengarkan, memperjelas, dan menggali, kita tidak akan dapat membangun jembatan tersebut dengan baik. Sebagaimana dikatakan oleh Paulus dalam 1 Korintus 9:22-23, ia berusaha menjadi seperti lawan bicaranya untuk dapat menjangkau mereka dengan Injil seefektif mungkin.

Bagaimana cara kita membangun jembatan dalam sebuah percakapan? Pertama-tama, kita perlu mencari baik persamaan atau perbedaan antara keyakinan kita dan orang yang kita injili. Misalnya, dalam sebuah percakapan, kita mendengar kalimat, “Semua agama sama saja,” kita dapat merespons dengan, “Saya setuju bahwa memang semua agama secara umum di permukaannya mengajarkan kebaikan dan menuntut pengikutnya untuk berbuat baik.” Namun demikian, kita harus melanjutkan dengan, “Tetapi, sekalipun banyak kesamaannya, ada pula perbedaan yang mendasar dalam masing-masing agama bukan? Entah itu berkaitan dengan Allah, manusia, masalah utama manusia, solusinya, dan kehidupan setelah kematian, setiap agama tidak mengajarkan hal yang sama.” Dalam percakapan ini, kita menyetujui bahwa adanya beberapa persamaan tidak berarti tidak ada perbedaan yang signifikan. Di sinilah peran mendengarkan dan memperjelas-menggali menjadi sangat krusial untuk menentukan pertanyaan yang kita ajukan.

Kedua, kita juga perlu membedakan pembuktian atau argumentasi yang objektif dengan pengalaman atau kesaksian hidup yang subjektif. Bukti objektif, contohnya, adalah tentang keberadaan Yesus Kristus sebagai figur sejarah yang pernah hidup, pernah mati disalib, dan bangkit dari antara orang mati. Pengalaman subjektif, misalnya, adalah tentang bagaimana kita berjumpa dengan Kristus dan mengalami perubahan hidup secara radikal. Ketika tiba saatnya kita membagikan Injil serta alasan mengapa kita menjadi Kristen, kita perlu menyeimbangkan antara memberikan bukti objektif dan pengalaman subjektif kita. Kita harus peka membaca situasi di mana kita harus terlebih dahulu membagikan bukti-bukti objektif terkait iman Kristen atau pengalaman-pengalaman kita (atau orang lain) kepada lawan bicara kita.

Ketiga, untuk dapat membangun jembatan dengan baik, kita perlu mempelajari apologetika dasar tentang beberapa hal yang sering ditanyakan: keberadaan Allah, Yesus Kristus, perbandingan agama, Alkitab, dan lainnya. Hal inilah yang menentukan jalan masuk kita dalam membangun jembatan menuju Injil dengan tepat. Dengan lebih banyaknya topik yang kita pahami, kita akan dapat memiliki kesempatan yang lebih juga untuk masuk kepada Injil. Misalnya, jika kita memahami ateisme dan alasan-alasan rasional untuk mempercayai keberadaan Allah, kita akan dapat menjangkau orang-orang yang skeptis atau ateis (juga agnostik). Jika kita memahami ajaran agama Hindu, kita akan dapat berbicara banyak dengan orang-orang Hindu. Jadi, pengetahuan kita tentang apologetika dan iman Kristen menentukan seberapa luas kita dapat membangun jembatan percakapan yang dapat berakhir pada Injil.

Akhirnya, hal terpenting di dalam membangun jembatan dalam penginjilan adalah hidup kita sendiri, yang menunjukkan kasih dan keterbukaan dalam menjangkau mereka yang belum percaya. Sekalipun kita dapat menggunakan metode conversational evangelism atau metode apapun dengan baik, tanpa kesaksian hidup yang nyata, semuanya menjadi sia-sia. Hidup kita adalah apologetika yang ultimat.