Pernahkah kita
berpikir bahwa penginjilan terasa begitu berat? Seringkah kita merasa gagal
dalam penginjilan karena tidak bisa menceritakan Injil dalam pertemuan kita
dengan orang-orang yang belum percaya? Jika kita menjawab “ya” terhadap kedua
pertanyaan ini, kemungkinan kita salah memahami apa itu penginjilan.
Penginjilan merupakan sebuah proses yang tidak instan dan seringkali memakan
waktu yang panjang. Menurut “Engel Scale of Steps to Christ,” ada 16 tahap
(lebih) kerohanian seseorang mulai dari “tidak ada kesadaran akan Allah” sampai
“memutuskan untuk menyerahkan hidup bagi Yesus” dan terus hingga “pertumbuhan
yang berjalan.” Jadi, jika kita sudah menolong teman kita untuk naik satu
langkah dalam kerohanian atau relasi mereka dengan Tuhan, kita sudah dapat
dikategorikan berhasil dalam penginjilan. Oleh sebab itu, mari kita jangan
menjadi kecil hati dan putus asa! Yang sedang kita lakukan, dan yang Tuhan
kehendaki, bukanlah kita membawa jiwa-jiwa yang terhilang kepada Kristus
(mustahil untuk kita sukses melakukannya karena itu merupakan karya Roh Kudus
semata), tetapi kita membawa Kristus kepada jiwa-jiwa yang terhilang.
Hal pertama
(bahkan yang terpenting) yang harus dilakukan dalam conversational evangelism
adalah mendengarkan (listen). Di dalam penginjilan, kita cenderung terfokus dan
secara terburu-buru berpikir untuk menyampaikan Injil tanpa berhenti sejenak
untuk berusaha memahami posisi lawan bicara kita. Juga setelah mempelajari
apologetika, kita mengira bahwa kitalah yang harus lebih banyak memberikan
pembelaan atau jawaban (1Ptr. 3:15), padahal tidak demikian. Kita seringkali
lupa akan prinsip paling mendasar ini: “Percakapan yang baik dimulai dengan
pendengaran yang baik.”
Mengapa kita
perlu mendengarkan dengan baik dalam penginjilan? Setidaknya ada tiga
keuntungan yang dapat kita raih darinya:
Pertama,
mendengarkan dapat menolong kita untuk memiliki relasi yang baik dengan orang
yang bersangkutan. Pada umumnya orang akan lebih menghargai kita jika kita
mengutamakan mereka yang lebih banyak berbicara dan dengan sabar menyimak apa
yang ada dalam pikiran mereka dan yang mereka percayai.
Kedua,
mendengarkan dapat menolong untuk membuat lawan bicara kita merasa aman. Hal
ini akan membuat mereka lebih tidak curiga terhadap kita dan bersikap defensif.
Jika seseorang sudah merasa dipahami dan didengarkan, mereka dengan sendirinya
akan berbicara dengan lebih terbuka dan memudahkan kita untuk lebih menanyakan
hal-hal yang dapat membuatnya berpikir jernih.
Ketiga, yang
menjadi tujuan utama kita, mendengarkan dapat menolong kita untuk mendengarkan
nada-nada sumbang atau ketidakkonsistenan di dalam kepercayaan yang mereka
anut. Hal ini adalah yang terpenting bagi kita untuk dapat memahami pandangan
mereka dengan baik, sehingga percakapan yang terjadi dapat berjalan dengan
baik, tanpa kesalahpahaman yang seringkali menimbulkan perdebatan panas yang
tidak perlu.
Dengan kata
lain, seni mendengar dengan baik menjadi langkah pertama yang mendasari
pendekatan conversational evangelism ini. Sekali lagi, yang menjadi tujuan
utama dari mendengarkan ini adalah memahami sebaik-baiknya apa yang menjadi
kepercayaan dan kebutuhan orang yang kita injili, karena tidak semua orang sama
di dalam memahami ajaran agama mereka. Terkadang, kita menemukan orang yang
mengaku diri seorang Buddhis, yang ketika kita gali tentang pandangannya, ia
tidak terlalu paham ajarannya sendiri. Ada juga orang yang mengaku Muslim,
tetapi ternyata ia mengatakan bahwa semua agama sama saja—bertentangan dengan
kepercayaannya sendiri. Atau, kita bertemu seorang Kristen yang ketika
berbicara begitu negatif terhadap gereja dan memilih untuk menjadi ateis secara
sembunyi-sembunyi.
Maka dari itu,
penting sekali di dalam sebuah percakapan, kita budayakan mendengarkan secara
aktif dengan lebih banyak bertanya, sebelum cepat-cepat berbicara tentang
Injil, supaya lawan bicara kitalah yang lebih dahulu menjelaskan secara tepat
apa yang menjadi kepercayaannya. Jika kita berhasil melakukannya, setiap
pengalaman penginjilan yang kita dapatkan akan menjadi lebih mulus dan berjalan
lancar.
Tahap kedua dari
metode conversational evangelism yang akan mengarahkan sebuah percakapan ke
level yang berikutnya adalah memperjelas atau mengklarifikasi. Yang menjadi
kunci keberhasilan akan hal ini adalah mengajukan pertanyaan yang tepat (asking
the right question). Masih sangat berkaitan dengan tahap mendengarkan, kita berusaha
untuk memahami secara tuntas apa yang menjadi pengertian seseorang terhadap
sebuah isu yang kita diskusikan, baik itu hal-hal yang berkaitan dengan Allah,
sains dan agama, keselamatan, etika atau gaya hidup, dan lain-lain. Pada
intinya, kita berusaha untuk menganalisa apa yang menjadi keyakinan dan posisi
lawan bicara kita.
Ada dua tujuan
utama dari klarifikasi dengan menggunakan pertanyaan. Pertama, kita ingin
memperjelas penggunaan istilah-istilah atau kata-kata tertentu yang
membingungkan atau ambigu. Terkadang sebuah percakapan dapat berakhir dengan
perdebatan yang tidak perlu, dikarenakan salah satu atau kedua belah pihak
gagal memahami satu sama lain. Sebagai contoh, ketika berbicara dengan seorang
Saksi Yehuwa, kita mungkin akan berpikir, ketika mereka menyatakan “Yesus
adalah Anak Allah,” bahwa mereka juga percaya akan ketuhanan Yesus. Padahal,
jika kita bertanya lebih lanjut, “Apa pemahaman Anda tentang Yesus sebagai Anak
Allah?,” kita akan mendapati bahwa mereka menganggap Yesus bukanlah Allah
melainkan Yesus hanyalah ciptaan saja (sebagian mereka mengatakan Yesus adalah
Mikael sang penghulu malaikat). Istilah yang sama tidak berarti pengertiannya
sama.
Kedua, kita
ingin supaya lawan bicara kita melihat dengan jelas titik lemah dari keyakinan
mereka. Hal ini penting untuk dilakukan karena, pada umumnya, orang tidak akan
mau mendengarkan apalagi menerima pandangan kita jika ia masih merasa
pandangannyalah yang benar dan belum melihat lubang dalam sistem pemikirannya.
Misalnya, pada saat berdiskusi dengan seorang ateis yang tidak mempercayai
adanya Allah yang menciptakan dunia ini, kita bisa bertanya: “Apakah berarti
alam semesta dan segala isinya muncul dari ketiadaan? Bukankah sesuatu bisa ada
karena disebabkan oleh sesuatu atau seseorang? Bagaimana bisa sesuatu bisa ada
dari ketiadaan?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bermaksud untuk menunjukkan
bahwa dibutuhkan iman yang lebih besar untuk memercayai bahwa sesuatu atau
seseorang bisa ada dari ketiadaan secara acak daripada memercayai adanya Allah
yang menciptakan alam semesta dan umat manusia secara keseluruhan.
Hasil yang
diinginkan dari pertanyaan-pertanyaan klarifikasi seperti ini adalah mereka
mulai merasa ragu (doubt) terhadap pendangannya sendiri, lalu tidak lagi merasa
angkuh atau superior (defensive), dan kemudian merasa ingin tahu dan tertarik
(desire to know/curious) untuk mendengarkan apa yang kita yakini, bahkan
mendengarkan Injil yang menjadi pesan utama yang ingin kita sampaikan. Jika
perasaan-perasaan tersebut belum dirasakan oleh lawan bicara kita, mereka tidak
akan mau mendengarkan, apalagi merasa perlu untuk menerima pesan yang ingin
kita sampaikan.
Bagaimana kita
dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi yang pas dan mampu membuat
orang lain meragukan pandangannya sendiri? Tidak ada cara lain, kita harus
berusaha keras untuk tidak hanya memahami posisi dan keyakinan kita pribadi,
tetapi juga kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kita, guna mencari
kebenaran sejati. Dengan demikian, kita dapat lebih berhikmat di dalam memberi
jawab kepada orang yang membutuhkan (Kol. 4:2; 1Ptr. 3:15).
Langkah yang
ketiga dari metode ini adalah menggali. Menggali merupakan bagian lanjutan dari
memperjelas, di mana kita ingin mengetahui sejarah kehidupan dari lawan bicara
kita untuk menemukan penghalang utama mereka terhadap Injil serta bagaimana
mereka sampai pada kondisi mereka saat ini. Jika sebelumnya kita ingin
kejelasan dari apa yang yang mereka pahami terhadap suatu isu yang dibicarakan,
dalam tahap ini, kita mau mencari penyebab tersembunyi dari apa yang
menghalangi mereka untuk percaya dan mengikut Kristus.
Tujuan utama
dari menggali adalah untuk menemukan apakah sesuatu yang memberatkan atau
menghalangi seseorang untuk percaya pada Kristus itu bersifat intelektual,
emosional, sosial, atau spiritual. Dari langkah kedua, memperjelas, kita tahu
bahwa terkadang apa yang terlihat di luar tidak selalu sama dengan yang ada di
belakang. Dengan kata lain, tanpa adanya klarifikasi (dengan bertanya),
seringkali yang terjadi adalah miskomunikasi dan kesalahpahaman yang
mencegah Injil untuk masuk secara mulus.
Namun, pada
kenyataannya, banyak orang yang sesungguhnya tidak percaya bukan karena
halangan intelektual, tetapi yang lainnya. Misalnya, berkaitan dengan masalah
emosional, kita sering mendengar seseorang bertanya, “Jika Allah ada, mengapa
ada begitu banyak orang Kristen yang munafik?,” atau “Bagaimana mungkin Allah
yang maha kuasa dan maha baik dapat membiarkan begitu banyak kejahatan dan
penderitaan di dunia?” Terkadang kita juga mendapati seseorang, karena tekanan
sosial, berkata demikian: “Jika aku percaya Yesus, apakah berarti saya harus
menentang orang tua saya yang berbeda keyakinan? Apakah saya tidak boleh lagi
memberikan penghormatan kepada kakek leluhur saya?” Bisa jadi, kita bertemu
dengan orang-orang yang belum siap secara spiritual yang dengan tegas berkata,
“Sekalipun kekristenan itu benar dan terbukti, saya tidak mau menjadi orang
percaya!” Jadi, penting sekali dalam sebuah percakapan kita berusaha menggali
apa yang menjadi penghalang utama yang membuat orang tersebut menolak untuk
percaya dan menerima Injil.
Beberapa
pertanyaan yang dapat kita ajukan untuk menggali penghalang utama seseorang
adalah sebagai berikut:
- Bolehkah saya tahu apa yang membuat Anda bertanya/berkata seperti itu?
- Bukti macam apa yang Anda cari yang dapat membuatmu percaya?
- Mengapa pertanyaan/isu ini penting bagi Anda?
- Jika saya dapat menjawab pertanyaan Anda, maukah Anda mempertimbangkan untuk percaya kepada Allah dan kekristenan?
Dalam hal menggali,
tentu saja Yesus sendiri menjadi suri teladan dalam penerapannya. Kita melihat
hal ini ketika seorang muda yang kaya bertanya, “Guru yang baik, apa yang harus
kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Mrk. 10:17-22), atau pun ketika
orang-orang Saduki mau mempertanyakan pandangan Yesus tentang kebangkitan orang
mati (Mrk. 12:18-27). Maka dari itu, kita harus senantiasa mengingat,
sebagaimana ditandaskan oleh Ravi Zacharias, bahwa di balik setiap pertanyaan
ada penanyanya (“behind every question is a questioner”). Kita tidak akan dapat
memberikan apologetika dan jawaban yang tepat tanpa menggali apa yang
menghalangi seseorang untuk datang kepada Kristus.
Langkah yang keempat
dan terakhir ini adalah membangun jembatan di dalam sebuah percakapan kita
dengan orang yang belum percaya menuju kepada Injil. Membangun jembatan dalam
percakapan berarti kita mencari sebuah titik temu di mana kita dapat
mengkomunikasikan Injil secara halus dan mulus. Dengan kata lain, tanpa
langkah-langkah sebelumnya seperti mendengarkan, memperjelas, dan menggali,
kita tidak akan dapat membangun jembatan tersebut dengan baik. Sebagaimana
dikatakan oleh Paulus dalam 1 Korintus 9:22-23, ia berusaha menjadi seperti
lawan bicaranya untuk dapat menjangkau mereka dengan Injil seefektif mungkin.
Bagaimana cara
kita membangun jembatan dalam sebuah percakapan? Pertama-tama, kita perlu
mencari baik persamaan atau perbedaan antara keyakinan kita dan orang yang kita
injili. Misalnya, dalam sebuah percakapan, kita mendengar kalimat, “Semua agama
sama saja,” kita dapat merespons dengan, “Saya setuju bahwa memang semua agama
secara umum di permukaannya mengajarkan kebaikan dan menuntut pengikutnya untuk
berbuat baik.” Namun demikian, kita harus melanjutkan dengan, “Tetapi,
sekalipun banyak kesamaannya, ada pula perbedaan yang mendasar dalam
masing-masing agama bukan? Entah itu berkaitan dengan Allah, manusia, masalah
utama manusia, solusinya, dan kehidupan setelah kematian, setiap agama tidak
mengajarkan hal yang sama.” Dalam percakapan ini, kita menyetujui bahwa adanya
beberapa persamaan tidak berarti tidak ada perbedaan yang signifikan. Di
sinilah peran mendengarkan dan memperjelas-menggali menjadi sangat krusial
untuk menentukan pertanyaan yang kita ajukan.
Kedua, kita juga
perlu membedakan pembuktian atau argumentasi yang objektif dengan pengalaman
atau kesaksian hidup yang subjektif. Bukti objektif, contohnya, adalah tentang
keberadaan Yesus Kristus sebagai figur sejarah yang pernah hidup, pernah mati
disalib, dan bangkit dari antara orang mati. Pengalaman subjektif, misalnya,
adalah tentang bagaimana kita berjumpa dengan Kristus dan mengalami perubahan
hidup secara radikal. Ketika tiba saatnya kita membagikan Injil serta alasan
mengapa kita menjadi Kristen, kita perlu menyeimbangkan antara memberikan bukti
objektif dan pengalaman subjektif kita. Kita harus peka membaca situasi di mana
kita harus terlebih dahulu membagikan bukti-bukti objektif terkait iman Kristen
atau pengalaman-pengalaman kita (atau orang lain) kepada lawan bicara kita.
Ketiga, untuk
dapat membangun jembatan dengan baik, kita perlu mempelajari apologetika dasar
tentang beberapa hal yang sering ditanyakan: keberadaan Allah, Yesus Kristus,
perbandingan agama, Alkitab, dan lainnya. Hal inilah yang menentukan jalan
masuk kita dalam membangun jembatan menuju Injil dengan tepat. Dengan lebih
banyaknya topik yang kita pahami, kita akan dapat memiliki kesempatan yang
lebih juga untuk masuk kepada Injil. Misalnya, jika kita memahami ateisme dan
alasan-alasan rasional untuk mempercayai keberadaan Allah, kita akan dapat
menjangkau orang-orang yang skeptis atau ateis (juga agnostik). Jika kita
memahami ajaran agama Hindu, kita akan dapat berbicara banyak dengan
orang-orang Hindu. Jadi, pengetahuan kita tentang apologetika dan iman Kristen
menentukan seberapa luas kita dapat membangun jembatan percakapan yang dapat
berakhir pada Injil.
Akhirnya, hal
terpenting di dalam membangun jembatan dalam penginjilan adalah hidup kita
sendiri, yang menunjukkan kasih dan keterbukaan dalam menjangkau mereka yang
belum percaya. Sekalipun kita dapat menggunakan metode conversational
evangelism atau metode apapun dengan baik, tanpa kesaksian hidup yang nyata,
semuanya menjadi sia-sia. Hidup kita adalah apologetika yang ultimat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar