Senin, 03 September 2018

Percakapan Penginjilan

Pernahkah kita berpikir bahwa penginjilan terasa begitu berat? Seringkah kita merasa gagal dalam penginjilan karena tidak bisa menceritakan Injil dalam pertemuan kita dengan orang-orang yang belum percaya? Jika kita menjawab “ya” terhadap kedua pertanyaan ini, kemungkinan kita salah memahami apa itu penginjilan. Penginjilan merupakan sebuah proses yang tidak instan dan seringkali memakan waktu yang panjang. Menurut “Engel Scale of Steps to Christ,” ada 16 tahap (lebih) kerohanian seseorang mulai dari “tidak ada kesadaran akan Allah” sampai “memutuskan untuk menyerahkan hidup bagi Yesus” dan terus hingga “pertumbuhan yang berjalan.” Jadi, jika kita sudah menolong teman kita untuk naik satu langkah dalam kerohanian atau relasi mereka dengan Tuhan, kita sudah dapat dikategorikan berhasil dalam penginjilan. Oleh sebab itu, mari kita jangan menjadi kecil hati dan putus asa! Yang sedang kita lakukan, dan yang Tuhan kehendaki, bukanlah kita membawa jiwa-jiwa yang terhilang kepada Kristus (mustahil untuk kita sukses melakukannya karena itu merupakan karya Roh Kudus semata), tetapi kita membawa Kristus kepada jiwa-jiwa yang terhilang.

Hal pertama (bahkan yang terpenting) yang harus dilakukan dalam conversational evangelism adalah mendengarkan (listen). Di dalam penginjilan, kita cenderung terfokus dan secara terburu-buru berpikir untuk menyampaikan Injil tanpa berhenti sejenak untuk berusaha memahami posisi lawan bicara kita. Juga setelah mempelajari apologetika, kita mengira bahwa kitalah yang harus lebih banyak memberikan pembelaan atau jawaban (1Ptr. 3:15), padahal tidak demikian. Kita seringkali lupa akan prinsip paling mendasar ini: “Percakapan yang baik dimulai dengan pendengaran yang baik.”

Mengapa kita perlu mendengarkan dengan baik dalam penginjilan? Setidaknya ada tiga keuntungan yang dapat kita raih darinya:

Pertama, mendengarkan dapat menolong kita untuk memiliki relasi yang baik dengan orang yang bersangkutan. Pada umumnya orang akan lebih menghargai kita jika kita mengutamakan mereka yang lebih banyak berbicara dan dengan sabar menyimak apa yang ada dalam pikiran mereka dan yang mereka percayai.

Kedua, mendengarkan dapat menolong untuk membuat lawan bicara kita merasa aman. Hal ini akan membuat mereka lebih tidak curiga terhadap kita dan bersikap defensif. Jika seseorang sudah merasa dipahami dan didengarkan, mereka dengan sendirinya akan berbicara dengan lebih terbuka dan memudahkan kita untuk lebih menanyakan hal-hal yang dapat membuatnya berpikir jernih.

Ketiga, yang menjadi tujuan utama kita, mendengarkan dapat menolong kita untuk mendengarkan nada-nada sumbang atau ketidakkonsistenan di dalam kepercayaan yang mereka anut. Hal ini adalah yang terpenting bagi kita untuk dapat memahami pandangan mereka dengan baik, sehingga percakapan yang terjadi dapat berjalan dengan baik, tanpa kesalahpahaman yang seringkali menimbulkan perdebatan panas yang tidak perlu.

Dengan kata lain, seni mendengar dengan baik menjadi langkah pertama yang mendasari pendekatan conversational evangelism ini. Sekali lagi, yang menjadi tujuan utama dari mendengarkan ini adalah memahami sebaik-baiknya apa yang menjadi kepercayaan dan kebutuhan orang yang kita injili, karena tidak semua orang sama di dalam memahami ajaran agama mereka. Terkadang, kita menemukan orang yang mengaku diri seorang Buddhis, yang ketika kita gali tentang pandangannya, ia tidak terlalu paham ajarannya sendiri. Ada juga orang yang mengaku Muslim, tetapi ternyata ia mengatakan bahwa semua agama sama saja—bertentangan dengan kepercayaannya sendiri. Atau, kita bertemu seorang Kristen yang ketika berbicara begitu negatif terhadap gereja dan memilih untuk menjadi ateis secara sembunyi-sembunyi.

Maka dari itu, penting sekali di dalam sebuah percakapan, kita budayakan mendengarkan secara aktif dengan lebih banyak bertanya, sebelum cepat-cepat berbicara tentang Injil, supaya lawan bicara kitalah yang lebih dahulu menjelaskan secara tepat apa yang menjadi kepercayaannya. Jika kita berhasil melakukannya, setiap pengalaman penginjilan yang kita dapatkan akan menjadi lebih mulus dan berjalan lancar.

Tahap kedua dari metode conversational evangelism yang akan mengarahkan sebuah percakapan ke level yang berikutnya adalah memperjelas atau mengklarifikasi. Yang menjadi kunci keberhasilan akan hal ini adalah mengajukan pertanyaan yang tepat (asking the right question). Masih sangat berkaitan dengan tahap mendengarkan, kita berusaha untuk memahami secara tuntas apa yang menjadi pengertian seseorang terhadap sebuah isu yang kita diskusikan, baik itu hal-hal yang berkaitan dengan Allah, sains dan agama, keselamatan, etika atau gaya hidup, dan lain-lain. Pada intinya, kita berusaha untuk menganalisa apa yang menjadi keyakinan dan posisi lawan bicara kita.

Ada dua tujuan utama dari klarifikasi dengan menggunakan pertanyaan. Pertama, kita ingin memperjelas penggunaan istilah-istilah atau kata-kata tertentu yang membingungkan atau ambigu. Terkadang sebuah percakapan dapat berakhir dengan perdebatan yang tidak perlu, dikarenakan salah satu atau kedua belah pihak gagal memahami satu sama lain. Sebagai contoh, ketika berbicara dengan seorang Saksi Yehuwa, kita mungkin akan berpikir, ketika mereka menyatakan “Yesus adalah Anak Allah,” bahwa mereka juga percaya akan ketuhanan Yesus. Padahal, jika kita bertanya lebih lanjut, “Apa pemahaman Anda tentang Yesus sebagai Anak Allah?,” kita akan mendapati bahwa mereka menganggap Yesus bukanlah Allah melainkan Yesus hanyalah ciptaan saja (sebagian mereka mengatakan Yesus adalah Mikael sang penghulu malaikat). Istilah yang sama tidak berarti pengertiannya sama.

Kedua, kita ingin supaya lawan bicara kita melihat dengan jelas titik lemah dari keyakinan mereka. Hal ini penting untuk dilakukan karena, pada umumnya, orang tidak akan mau mendengarkan apalagi menerima pandangan kita jika ia masih merasa pandangannyalah yang benar dan belum melihat lubang dalam sistem pemikirannya. Misalnya, pada saat berdiskusi dengan seorang ateis yang tidak mempercayai adanya Allah yang menciptakan dunia ini, kita bisa bertanya: “Apakah berarti alam semesta dan segala isinya muncul dari ketiadaan? Bukankah sesuatu bisa ada karena disebabkan oleh sesuatu atau seseorang? Bagaimana bisa sesuatu bisa ada dari ketiadaan?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa dibutuhkan iman yang lebih besar untuk memercayai bahwa sesuatu atau seseorang bisa ada dari ketiadaan secara acak daripada memercayai adanya Allah yang menciptakan alam semesta dan umat manusia secara keseluruhan.

Hasil yang diinginkan dari pertanyaan-pertanyaan klarifikasi seperti ini adalah mereka mulai merasa ragu (doubt) terhadap pendangannya sendiri, lalu tidak lagi merasa angkuh atau superior (defensive), dan kemudian merasa ingin tahu dan tertarik (desire to know/curious) untuk mendengarkan apa yang kita yakini, bahkan mendengarkan Injil yang menjadi pesan utama yang ingin kita sampaikan. Jika perasaan-perasaan tersebut belum dirasakan oleh lawan bicara kita, mereka tidak akan mau mendengarkan, apalagi merasa perlu untuk menerima pesan yang ingin kita sampaikan.

Bagaimana kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi yang pas dan mampu membuat orang lain meragukan pandangannya sendiri? Tidak ada cara lain, kita harus berusaha keras untuk tidak hanya memahami posisi dan keyakinan kita pribadi, tetapi juga kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kita, guna mencari kebenaran sejati. Dengan demikian, kita dapat lebih berhikmat di dalam memberi jawab kepada orang yang membutuhkan (Kol. 4:2; 1Ptr. 3:15).

Langkah yang ketiga dari metode ini adalah menggali. Menggali merupakan bagian lanjutan dari memperjelas, di mana kita ingin mengetahui sejarah kehidupan dari lawan bicara kita untuk menemukan penghalang utama mereka terhadap Injil serta bagaimana mereka sampai pada kondisi mereka saat ini. Jika sebelumnya kita ingin kejelasan dari apa yang yang mereka pahami terhadap suatu isu yang dibicarakan, dalam tahap ini, kita mau mencari penyebab tersembunyi dari apa yang menghalangi mereka untuk percaya dan mengikut Kristus.

Tujuan utama dari menggali adalah untuk menemukan apakah sesuatu yang memberatkan atau menghalangi seseorang untuk percaya pada Kristus itu bersifat intelektual, emosional, sosial, atau spiritual. Dari langkah kedua, memperjelas, kita tahu bahwa terkadang apa yang terlihat di luar tidak selalu sama dengan yang ada di belakang. Dengan kata lain, tanpa adanya klarifikasi (dengan bertanya), seringkali yang terjadi adalah miskomunikasi dan kesalahpahaman yang mencegah Injil untuk masuk secara mulus.

Namun, pada kenyataannya, banyak orang yang sesungguhnya tidak percaya bukan karena halangan intelektual, tetapi yang lainnya. Misalnya, berkaitan dengan masalah emosional, kita sering mendengar seseorang bertanya, “Jika Allah ada, mengapa ada begitu banyak orang Kristen yang munafik?,” atau “Bagaimana mungkin Allah yang maha kuasa dan maha baik dapat membiarkan begitu banyak kejahatan dan penderitaan di dunia?” Terkadang kita juga mendapati seseorang, karena tekanan sosial, berkata demikian: “Jika aku percaya Yesus, apakah berarti saya harus menentang orang tua saya yang berbeda keyakinan? Apakah saya tidak boleh lagi memberikan penghormatan kepada kakek leluhur saya?” Bisa jadi, kita bertemu dengan orang-orang yang belum siap secara spiritual yang dengan tegas berkata, “Sekalipun kekristenan itu benar dan terbukti, saya tidak mau menjadi orang percaya!” Jadi, penting sekali dalam sebuah percakapan kita berusaha menggali apa yang menjadi penghalang utama yang membuat orang tersebut menolak untuk percaya dan menerima Injil.

Beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan untuk menggali penghalang utama seseorang adalah sebagai berikut:
  • Bolehkah saya tahu apa yang membuat Anda bertanya/berkata seperti itu?
  • Bukti macam apa yang Anda cari yang dapat membuatmu percaya?
  • Mengapa pertanyaan/isu ini penting bagi Anda?
  • Jika saya dapat menjawab pertanyaan Anda, maukah Anda mempertimbangkan untuk percaya kepada Allah dan kekristenan?
Dalam hal menggali, tentu saja Yesus sendiri menjadi suri teladan dalam penerapannya. Kita melihat hal ini ketika seorang muda yang kaya bertanya, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Mrk. 10:17-22), atau pun ketika orang-orang Saduki mau mempertanyakan pandangan Yesus tentang kebangkitan orang mati (Mrk. 12:18-27). Maka dari itu, kita harus senantiasa mengingat, sebagaimana ditandaskan oleh Ravi Zacharias, bahwa di balik setiap pertanyaan ada penanyanya (“behind every question is a questioner”). Kita tidak akan dapat memberikan apologetika dan jawaban yang tepat tanpa menggali apa yang menghalangi seseorang untuk datang kepada Kristus.

Langkah yang keempat dan terakhir ini adalah membangun jembatan di dalam sebuah percakapan kita dengan orang yang belum percaya menuju kepada Injil. Membangun jembatan dalam percakapan berarti kita mencari sebuah titik temu di mana kita dapat mengkomunikasikan Injil secara halus dan mulus. Dengan kata lain, tanpa langkah-langkah sebelumnya seperti mendengarkan, memperjelas, dan menggali, kita tidak akan dapat membangun jembatan tersebut dengan baik. Sebagaimana dikatakan oleh Paulus dalam 1 Korintus 9:22-23, ia berusaha menjadi seperti lawan bicaranya untuk dapat menjangkau mereka dengan Injil seefektif mungkin.

Bagaimana cara kita membangun jembatan dalam sebuah percakapan? Pertama-tama, kita perlu mencari baik persamaan atau perbedaan antara keyakinan kita dan orang yang kita injili. Misalnya, dalam sebuah percakapan, kita mendengar kalimat, “Semua agama sama saja,” kita dapat merespons dengan, “Saya setuju bahwa memang semua agama secara umum di permukaannya mengajarkan kebaikan dan menuntut pengikutnya untuk berbuat baik.” Namun demikian, kita harus melanjutkan dengan, “Tetapi, sekalipun banyak kesamaannya, ada pula perbedaan yang mendasar dalam masing-masing agama bukan? Entah itu berkaitan dengan Allah, manusia, masalah utama manusia, solusinya, dan kehidupan setelah kematian, setiap agama tidak mengajarkan hal yang sama.” Dalam percakapan ini, kita menyetujui bahwa adanya beberapa persamaan tidak berarti tidak ada perbedaan yang signifikan. Di sinilah peran mendengarkan dan memperjelas-menggali menjadi sangat krusial untuk menentukan pertanyaan yang kita ajukan.

Kedua, kita juga perlu membedakan pembuktian atau argumentasi yang objektif dengan pengalaman atau kesaksian hidup yang subjektif. Bukti objektif, contohnya, adalah tentang keberadaan Yesus Kristus sebagai figur sejarah yang pernah hidup, pernah mati disalib, dan bangkit dari antara orang mati. Pengalaman subjektif, misalnya, adalah tentang bagaimana kita berjumpa dengan Kristus dan mengalami perubahan hidup secara radikal. Ketika tiba saatnya kita membagikan Injil serta alasan mengapa kita menjadi Kristen, kita perlu menyeimbangkan antara memberikan bukti objektif dan pengalaman subjektif kita. Kita harus peka membaca situasi di mana kita harus terlebih dahulu membagikan bukti-bukti objektif terkait iman Kristen atau pengalaman-pengalaman kita (atau orang lain) kepada lawan bicara kita.

Ketiga, untuk dapat membangun jembatan dengan baik, kita perlu mempelajari apologetika dasar tentang beberapa hal yang sering ditanyakan: keberadaan Allah, Yesus Kristus, perbandingan agama, Alkitab, dan lainnya. Hal inilah yang menentukan jalan masuk kita dalam membangun jembatan menuju Injil dengan tepat. Dengan lebih banyaknya topik yang kita pahami, kita akan dapat memiliki kesempatan yang lebih juga untuk masuk kepada Injil. Misalnya, jika kita memahami ateisme dan alasan-alasan rasional untuk mempercayai keberadaan Allah, kita akan dapat menjangkau orang-orang yang skeptis atau ateis (juga agnostik). Jika kita memahami ajaran agama Hindu, kita akan dapat berbicara banyak dengan orang-orang Hindu. Jadi, pengetahuan kita tentang apologetika dan iman Kristen menentukan seberapa luas kita dapat membangun jembatan percakapan yang dapat berakhir pada Injil.

Akhirnya, hal terpenting di dalam membangun jembatan dalam penginjilan adalah hidup kita sendiri, yang menunjukkan kasih dan keterbukaan dalam menjangkau mereka yang belum percaya. Sekalipun kita dapat menggunakan metode conversational evangelism atau metode apapun dengan baik, tanpa kesaksian hidup yang nyata, semuanya menjadi sia-sia. Hidup kita adalah apologetika yang ultimat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar