Apakah makna hidup
manusia? Haruskah pertanyaan ini dijawab?
Suatu kali ada seorang mahasiswa yang menceritakan
persoalan yang baru saja menimpanya. Persoalan ini berkaitan dengan apa yang
dialami sahabat baiknya. Dia mengalami kecelakaan dan meninggal di waktu di
mana dia tinggal sedikit lagi menunggu wisuda dari kampusnya. Setelah semua
susah payah yang dia jalani selama masa perkuliahan, hidupnya berakhir begitu
saja. Sang mahasiswa pun bertanya, “Kalau begitu untuk apa dia belajar susah
payah?”
Cerita di atas hanyalah salah satu contoh peristiwa
yang bersinggungan dengan makna hidup. Persoalan ini dipikirkan oleh banyak
orang di seluruh dunia. Sebagian orang mengabaikan pertanyaan ini. Sebagian
lagi tidak tahu bagaimana menjawabnya. Di sekeliling kita ada banyak orang yang
hidup begitu saja, hanya menjalani dan menikmati hidup sebagaimana mestinya. Banyak
orang yang tidak tahu untuk apa dia hidup.
Namun jika dicermati lebih dalam, di balik pertanyaan “apakah makna hidup manusia” sebenarnya ada pertanyaan yang lebih mendasar yang harus dipikirkan, yaitu “apakah hidup memang punya makna?” Pertanyaan ini berusaha untuk mundur satu langkah dan seharusnya membuat kita merenungkan hal sepenting ini. Jikalau hidup memang tidak ada maknanya, maka tidak perlu susah payah mencari maknanya. Ke mana pun kita mencarinya, kita tidak akan pernah menemukannya. Untuk apa mencari sesuatu yang tidak ada?
Sudut pandang
ateis: filosofis dan pragmatis
Dalam sudut pandang filosofis ateis, pencarian makna
hidup adalah sebuah kesia-siaan. Pertanyaan “apakah makna hidup manusia” adalah
pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Pertanyaan itu tidak memiliki jawaban. Pertanyaan
itu salah dan harus dianulir. Hidup kita tidak memiliki makna. Kehidupan ini
ada bukan karena sebuah hasil rancangan, tujuan, atau Pencipta. Eksistensi
kehidupan hanya akibat dari evolusi molekul melalui proses fisika dan kimia
biasa. Karena manusia hanya merupakan hasil dari sebuah proses natural yang
kebetulan, maka implikasinya sudah bisa ditebak, kehidupan ini pasti tidak
memiliki makna. Apakah ada makna dari sebuah makhluk yang berasal dari
kecelakaan kosmik?
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Richard
Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene, “. . . yang relevan di sini adalah
sebelum kedatangan kehidupan di bumi, beberapa evolusi molekul yang sederhana
bisa saja terjadi karena proses fisika dan kimia biasa. Tidak perlu ada
rancangan, tujuan, atau Allah.” Setelah bumi terbentuk kira-kira 4,5 milyar
tahun yang lalu, terdapat lumpur purba dan beberapa zat lainnya (seperti gas
metana, hidrogen, uap air, dan amonia). Ketika semuanya ini terkena sinar
kosmis dan kilatan halilintar, maka terbentuklah apa yang kita kenal sebagai
asam amino. Lebih lanjut, terjadilah evolusi kimiawi sebagai awal dari sel
primitif (3,5 milyar tahun yang lalu). Sel primitif inilah yang kemudian
menjadi - berdasarkan evolusi biologis - manusia, binatang, dan tumbuhan.
Evolusi tidak mengatakan manusia berasal dari kera. Evolusi hanya mau
mengatakan bahwa manusia, hewan, dan tumbuhan, semuanya berasal dari sumber
yang sama.
Dawkins dalam buku yang sama melanjutkan
pembahasannya, “Chemists have tried to imitate the chemical conditions of the
young earth. They have put these simple substances in a flask and supplied a
source of energy such as ultraviolet light or electric sparks — artificial
simulation of primordial lightning. After a few weeks of this, something
interesting is usually found inside the flask: a weak brown soup containing a
large number of molecules more complex than the ones originally put in. In
particular, amino acids have been found — the building blocks of proteins, one
of the two great classes of biological molecules. Before these experiments were
done, naturally-occurring amino acids would have been thought of as diagnostic
of the presence of life . . . More recently, laboratory simulations of the
chemical conditions of earth before the coming of life have yielded organic
substances called purines and pyrimidines. These are building blocks of the
genetic molecule, DNA itself.” Pengalaman uji coba yang berhasil tersebut
membuktikan bahwa tidak ada yang namanya penciptaan. Semuanya adalah proses
natural. Semuanya terjadi karena faktor kebetulan. Karena itu, tidak ada makna
dalam hidup ini. Dan untuk itu, kita tidak perlu susah payah mencari makna
hidup.
Lagipula secara pragmatis, manusia bebas untuk
menentukan makna dan tujuan hidupnya. Tidak ada sebuah makna objektif yang
harus diikuti oleh seluruh manusia dalam segala zaman. Semua tujuan bisa
dibenarkan, karena kitalah penentu dari tujuan tersebut. Kemajuan ilmu
pengetahuan telah mengubah jalan perkembangan manusia dari yang sebelumnya hanya
berusaha untuk mengatasi wabah bencana, peperangan, dan kemiskinan, menjadi
upaya pencarian yang serius menuju imortalitas dan pengembangan kehidupan
sampai titik kebahagiaan tertinggi. Ketika semuanya sudah berkembang, ketika
dunia ini sudah maju, maka dua tujuan itulah yang menjadi panduan bagi
perjalanan hidup manusia (Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia
[Terj. Yanto Musthofa; Ciputat: Alvabet, 2018]).
Tujuan pertama berkaitan erat dengan perjuangan
melawan usia tua. Manusia akan selalu berjuang untuk mempertahankan hidup.
Jikalau memungkinkan bahkan terus mengembangkan kajian tentang makhluk
pascamanusia yang bisa hidup selama-lamanya. Manusia ingin mencapai keabadian.
Dalam dunia ini, kita bisa menerima, mengingkari, atau melawan kematian. Dengan
semua kemajuan teknologi dan riset yang ada, manusia mulai membuka ruang pada
pilihan yang ketiga.
Tujuan kedua yang lebih penting dan bisa dijalani
saat ini adalah mengembangkan kehidupan. Manusia ingin menjadi bahagia. Tujuan
dan makna hidup manusia adalah mengejar kebahagiaan. Kebahagiaan dapat
dikategorikan menjadi dua jenis, yakni kebahagiaan psikologis dan biologis.
Kebahagiaan psikologis bergantung pada ekspektasi. Seseorang dikatakan bahagia
ketika ia memperoleh apa yang ia inginkan. Kebahagiaan adalah ketika kita
berhasil mencapai ekspektasi kita. Kebahagiaan biologis bersumber dari kondisi
biokimia. Kebahagiaan itu hanya merupakan sensasi ragawi yang menyenangkan
kita. Sensasi itulah yang memuaskan kita.
Sudut pandang teis
Pandangan di atas tentu bertentangan dengan apa yang
secara umum dipahami dalam sudut padang teisme. Orang yang memercayai Tuhan
adalah orang yang seharusnya juga mengatakan bahwa hidup ini memiliki makna. Mengapa?
Alasan pertama berkaitan dengan adanya kesadaran (consciousness). Meskipun hal
ini sulit didefinisikan, namun tetap diyakini kebenarannya bahwa manusia
memiliki kesadaran. Keberadaan kesadaran diakui secara intuitif. Setidaknya ada
dua macam kesadaran yang manusia miliki, yang menyebabkan manusia mencari makna
dan tujuan hidupnya.
Pertama, kesadaran bahwa dirinya ada (dan bukan
tidak ada) - tidak bisa di antaranya - dengan kompleks dan akurat. Sesuatu yang
tidak ada tidak mungkin sadar. Sebagai contoh, orang mati tidak mungkin menginginkan
uang, meskipun semasa hidupnya ia menyukai uang. Manusia bukan hanya menyadari
bahwa dirinya ada (dan bukan tidak ada), melainkan juga diikuti dengan
kesadaran bahwa dirinya ada sebagai pribadi yang sedemikian kompleks dan
akurat. Dengan demikian, keberadaannya pasti memiliki alasan.
Sebuah ilustrasi akan diberikan kepada kita untuk
mempermudah memahami hal ini. Istana pasir yang terlihat kompleks dan rumit tidak
mungkin terjadi secara kebetulan karena desiran ombak atau menciptakan bentuk
sendiri bersama dengan pasir-pasir lain yang merasa bosan. Kerumitan dan
kompleksitasnya menyiratkan seorang desainer di baliknya. Hal ini secara logis
menuntut kita untuk bertanya, “Untuk apa istana pasir itu dibuat?” Sebab si pembuat
pasti memiliki tujuan, rencana, dan maksud ketika mendirikan sebuah istana
pasir. Dengan kata lain, ketika sesuatu ada dengan segala kompleksitas,
kerumitan, dan akurasinya, logika kita menunut keberadaan sang desainer. Dari
sinilah mulai muncul pertanyaan mengenai makna dan tujuan hidup, “Untuk apa
kita diciptakan dengan segala kompleksitas, kerumitan, dan akurasinya?”
Kedua, kesadaran bahwa dirinya akan tidak ada
(mati). Dahulu kita pernah tidak ada. Saat ini kita ada. Suatu saat kita tidak
ada. Ketiadaan kekal tidak mungkin memiliki makna. Keberadaan hidup manusia di
antara dua ketiadaan membuat manusia bertanya apa yang menjadi makna kehidupan.
Pergumulan mengenai asal mula munculnya kesadaran tidak akan pernah terjawab
dengan penjelasan bahwa kesadaran adalah sebuah sistem kehidupan yang sudah ada
atau sebagai sebuah proses yang sudah terjadi. Hal ini tidak menjawab
pertanyaan, melainkan hanya menciptakan persoalan baru. Jika kesadaran bukanlah
sesuatu yang bersifat supranatural (di atas natur), melainkan hanya dipahami
sebagai reaksi-reaksi dari proses yang natural, maka tidak mungkin ada makna
spiritual di dalam diri manusia. Kita tidak ada bedanya dengan hukum gravitasi
yang diterima tanpa pertanyaan. Manusia tidak pernah mempertanyakan mengapa
harus ada hukum tersebut dan mengapa hukumnya harus seperti itu.
Tanggapan seperti ini hanya menunjukkan bahwa
kesadaran memang sulit untuk dibantah. Konklusi yang paling masuk akal adalah
kita didesain dan dirancang dengan tujuan dan makna. Keberadaan kesadaran
menjadi dasar pencarian makna hidup objektif yang nantinya akan menolong
manusia untuk menemukan makna hidup subjektif (personal).
Hal senada dijelaskan oleh C. S. Lewis dalam karya
monumentalnya yang berjudul The Problem of Pain, “Lalu, setelah genap waktunya,
Allah membuat organisme ini tiba-tiba merasakan semacam kesadaran yang baru,
baik secara psikologis maupun fisiologis, yang bisa berkata “Aku” dan memandang
dirinya sebagai sebuah objek, yang mengenal Allah, yang bisa memberikan
penilaian-penilaian tentang kebenaran, keindahan, dan kebaikan dan yang begitu
jauh melampaui waktu sehingga ia bisa mengenali waktu yang sudah berlalu.”
Dasar pencarian makna hidup bukan hanya berangkat
dari pemahaman akan keberadaan kesadaran, melainkan juga berkaitan erat dengan
adanya pilihan. Bukan karena pilihan kita benar baru kemudian hidup kita
bermakna. Keberadaan pilihan itu sendiri menunjukkan adanya makna. Jika tidak
ada pilihan, maka hidup manusia sudah ditentukan (determinis), sehingga lebih
memungkinkan untuk ketiadaan makna (meskipun keberadaan sesuatu tetap
membutuhkan makna).
Untuk memahami lebih lanjut, kita perlu membahas apa
yang disebut sebagai hukum pengambilan keputusan dalam sebuah pilihan. Pertama,
pilihan yang kita ambil dimulai dari logika yang paling sederhana sampai yang
paling rumit, seturut dengan bukti petunjuk / rasio yang memimpin. Kedua, kita memilih
berdasarkan cara yang paling mudah. Ketiga, kita memilih berdasarkan dampak
yang paling menguntungkan.
Dari tiga prinsip ini, kita bisa mempersoalkan keberadaan
di antara dua ketiadaan. Mengapa ketiadaan justru menjadi keberadaan? Jika dari
awal sudah tidak ada, bukankah lebih mudah untuk tetap tidak ada? Dalam hal ini
evolusi menjadi tidak masuk akal; bukankah lebih besar kemungkinannya untuk
tidak ada daripada menjadi ada melalui segala kerumitan proses yang harus
dilalui? Bukankah tidak ada lebih menguntungkan karena tidak perlu memikirkan
apa-apa? Jadi, mengapa tiba-tiba ada? Jika logika dasar menuntun kita untuk
memilih ketiadaan (yang mana pada kenyataannya ternyata bukanlah sebuah
ketiadaan, melainkan keberadaan), maka persoalan ini mengarahkan kita untuk
mempertanyakan makna dan tujuan keberadaan. Apa sebabnya muncul keberadaan dari
sebuah ketiadaan? Why is there something rather than nothing?
Prinsip dasar tadi dapat dikembangkan dengan argumentasi
bunuh diri (Leo Tolstoy yang dikutip oleh Thomas V. Morris dalam buku Making
Sense of It All [Surabaya: Momentum, 2002]) seperti dijelaskan oleh
premis-premis dan kesimpulan berikut ini.
·
P1:
Saya harus menghindar dari dunia yang buruk, sejauh saya berkuasa melakukannya
·
P2:
Hidup yang sama sekali tak masuk akal, yang tidak berarti, merupakan hal yang
buruk
·
P3:
Hidup saya benar-benar tak masuk akal dan tak berarti
·
P4:
Sayalah yang berkuasa menghindari dunia di mana saya hidup
·
K:
Saya harus menghindar dari dunia di mana saya hidup
Premis 1 menunjukkan pilihan yang jauh lebih
sederhana, mudah, dan menguntungkan. Premis 2 dan premis 3 menunjukkan
presuposisi ateisme apabila hidup ini terjadi secara kebetulan dan tanpa
pencipta. Keberadaan yang tanpa makna adalah hal yang buruk dan mengerikan. Premis
4 menunjukkan bahwa karena saya sudah ada, maka saya berkuasa untuk menentukan
pilihan: (1) tetap menjalani hidup yang terjadi karena kebetulan; tidak punya
arti dan buruk, atau (2) mengakhiri hidup saya dengan cara bunuh diri. Hukum
pengambilan keputusan mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa yang paling
sederhana, mudah, dan menguntungkan adalah bunuh diri (kesimpulan yang paling
masuk akal). Apabila ateisme benar, hidup ini adalah hidup yang sangat
mengerikan.
Lalu mengapa ada orang, bahkan ateis sekalipun,
tetap memutuskan untuk hidup? Mengapa manusia tidak henti-hentinya berusaha
untuk terus ada dan bahkan berusaha untuk hidup selama-lamanya? Seberapa besar kemungkinan
keberhasilan dari upaya seperti ini? Apakah ada bukti keberhasilan orang-orang
yang sudah menjadi abadi? Lebih jauh, bukankah kita semua (termasuk ateis) mendambakan
kebahagiaan selama kita ada? Bukankah untuk mencapai bahagia itu susah? Jika
demikian, mengapa tidak mengambil cara yang paling mudah, yaitu bunuh diri? Bukankah
bunuh diri tidak akan membuat kita mengejar kebahagiaan lagi?
Eksitensi penderitaan adalah alasan ketiga yang mendasari
pencarian makna dan tujuan hidup manusia. Penderitaan merupakan sebuah fakta
universal-personal, di mana pada umumnya direspons dengan mempertanyakan alasan
kondisi tersebut terjadi/menimpa diri manusia. Fakta ini menunjukkan (1) adanya
sebuah pelanggaran dari kondisi yang seharusnya dan (2) adanya sebuah desain
kondisi.
Sebagai contoh adalah apa yang terjadi ketika pensil
yang dipatahkan. Pensil tidak bisa melawan. Jika dia bisa berbicara dan dia
tahu bahwa dia didesain untuk menulis, maka dia akan merasa tidak digunakan
secara tepat guna. Demikian halnya dengan manusia yang mengalami penderitaan. Respons
pertama dari seseorang yang ditimpa penderitaan adalah bertanya, “Kenapa ini
harus terjadi?” Pertanyaan itu menyiratkan bahwa manusia tahu bahwa dirinya
bukan didesain untuk menderita. Dengan demikian, maka kehidupan ideal (yang
baik kondisinya) bukanlah sekadar hasil acak yang kebetulan bertahan hidup. Jika
kehidupan itu didesain, maka kehidupan memiliki makna dan tujuan. “Jika hidup
benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan, karena
penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.” (Victor
E. Frankl, Man’s Search for Meaning [Terj. Haris Priyatna; Jakarta: Naora
Books]).
Makna hidup
manusia: mengapa melalui Injil?
Kekristenan mengatakan bahwa hidup manusia memiliki
makna. Lebih jauh, keunikan dan superioritas kekristenan dalam hal ini adalah
bagaimana Injil menjawab lebih dari semuanya itu. Analisa pertama bersumber
dari dasar kebutuhan Injil sebagai tesis pemberian (the endowment thesis), “Sesuatu
bermakna apabila dan hanya jika diisi makna atau signifikansi oleh suatu
pribadi yang punya tujuan atau oleh kelompok pribadi semacam itu.” Sesuatu
tidak mungkin langsung bermakna secara intrinsik. Kita bermakna karena kita
diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan (Kej. 1:26-27). Makna kita
bersumber dari Pribadi yang memiliki tujuan. Tidak ada orang yang menciptakan
sesuatu hanya untuk dibuang. Tidak ada orang yang menciptakan sampah. Lalu siapakah
yang bisa dan layak memberikan makna kepada sesuatu, dalam hal ini kepada
kehidupan manusia? Apakah manusia itu sendiri, lingkungan/kelompok, atau Tuhan?
Pertama, pemberi makna harus lebih otoritatif daripada
yang diberi makna (berotoritas berarti mempunyai makna secara legal). Sebagai
ilustrasi untuk hal ini adalah kartu garansi. Fungsi kartu garansi bukan untuk
mengklaim ketika barang itu rusak, namun sebagai identitas barang: yang membuat
produk itu adalah perusahaan A. Itulah sebabnya kalau terjadi apa-apa dengan
barang yang dimaksud, hanya perusahaan A yang secara legal berhak untuk
melakukan sesuatu kepada produk buatannya. Dengan kata lain, yang bisa
melakukan reparasi seutuhnya terhadap barang yang rusak haruslah sang
pendesain. Dengan cara yang sama kita dapat mengatakan bahwa yang berhak untuk
memberikan makna bagi kehidupan manusia adalah yang mendesain kehidupannya. Makna
yang seutuhnya tidak mungkin datang dari diri sendiri atau lingkungan. Kedua, pemberi
makna harus lebih berkuasa daripada yang diberi makna (berkuasa berarti
mempunyai kemampuan yang lebih). Makna yang diberikan dari yang lebih berkuasa
adalah makna yang utuh. Hal ini sekali lagi tidak mungkin diberikan dari diri
sendiri atau lingkungan, kecuali sang pendesain yang memberinya. Ketiga, pemberi
makna harus lebih tahu daripada yang diberi makna (lebih tahu berarti mempunyai
pengetahuan yang lebih). Yang lebih tahu itulah yang bisa memberitahu apa makna
hidup kita. Ketiga ciri ini mengarah dan mengacu kepada Tuhan sebagai jawaban yang
lebih masuk akal daripada semua pilihan yang lain.
Dasar kebutuhan Injil yang kedua adalah argumentasi
dari kerinduan (desire). Setiap kerinduan manusia selalu memiliki alat untuk
memuaskannya. Tidak ada satupun di dalam dunia ini yang bisa memberikan
kepuasan. Kerinduan manusia hanya bisa dipuaskan oleh Tuhan. Apakah kerinduan
terdalam manusia yang tidak pernah terpuaskan?
Pertama, kerinduan akan relasi. Hal mendasar dalam
hidup manusia yang dibutuhkan oleh siapapun dari lingkungan manapun dan budaya
apapun adalah relasi. Tidak mungkin manusia hidup dengan dirinya sendiri: hal
itu tidak akan memuaskan. Untuk memperjelas hal ini saya akan memberikan dua contoh
dari kehidupan sehari-hari: ilustrasi anak nakal dan penggunaan media sosial,
secara khusus instagram.
Suatu ketika ada seorang anak yang sangat nakal dan
sangat sering mendukakan hati orang tuanya. Kenakalannya membuat dirinya sangat
sulit diatur. Dia selalu memberontak terhadap perintah dan larangan. Peringatan
lembut sampai pukulan keras dengan tongkat pun sudah pernah dilayangkan. Segala
cara, daya, dan upaya sudah dicoba untuk mengendalikan kenakalannya. Tidak ada
cara yang kunjung berhasil menghentikannya. Semuanya hanya berujung pada
kesia-siaan belaka. Sampai tiba saatnya di mana kedua orang tuanya sudah
menyerah untuk mengurus anak ini. Mereka berkata, “Apapun yang kamu lakukan
akan kami biarkan. Silakan hidup sesukamu. Uruslah dirimu sendiri.”
Sang anak pun merasa gembira dengan keputusan orang
tuanya. Terdapat kebahagiaan yang tak terkatakan di dalam hatinya. Bak bunga
yang baru mekar, demikianlah wajahnya berseri-seri sepanjang hari. Tidak ada
lagi kekangan dan amarah orang tua. Tidak ada lagi aturan yang membelenggu. Sejak
saat itu, mulai banyak kebiasaan orang tuanya yang berubah. Bangun siang tidak
dimarahi. Bolos sekolah sesuka hati. Bermain sepuasnya pun dibiarkan begitu
saja. Inilah kemerdekaan yang sejati. Hidup tanpa aturan siapapun. Hidup sesuka
diri sendiri.
Kebosanan perlahan mulai menghinggap dalam diri anak
ini. Dia mulai bersekolah dan belajar dengan giat. Dia berharap supaya bisa
mendapatkan nilai yang bagus. Sesuai dugaan, dia mendapatkan nilai 100. Tak
lama berselang, dia bersegera membawa kabar baik ini kepada kedua orang tuanya.
Harapannya tentu saja adalah pelukan kasih sayang dan pujian setinggi-tingginya
kepada dirinya. Jauh panggang dari api, orang tuanya hanya diam seribu bahasa
ketika sang anak menyodorkan nilai 100-nya. Alih-alih memuji, orang tuanya
justru memalingkan muka.
Sang anak berpikir mungkin kejadian itu hanya
berlangsung satu kali. Mungkin orang tuanya sedang mengalami persoalan besar.
Lain waktu dia mencoba hal yang sama. Nilai 100-nya dia sodorkan kepada kedua
orang tuanya. Tidak ada yang berbeda. Peristiwa yang sama kembali terulang.
Orang tuanya tidak bereaksi apa-apa.
Tidak menyerah dengan semuanya itu, anak ini mulai
mengubah tingkah lakunya. Dia mulai merapikan kamarnya, mencuci piring, membantu
membereskan rumah, bahkan mulai membiasakan bangun sepagi mungkin. Pendeknya,
dia berubah menjadi anak yang rajin dan baik hati. Satu yang pasti: dia
mengharapkan pujian dan pelukan kasih sayang kedua orang tuanya. Namun situasi
tak banyak berubah. Orang tuanya tetap diam seribu bahasa. Tidak ada pujian dan
apresiasi. Tidak ada pelukan dan kasih sayang. Hingga suatu ketika terjadilah
peristiwa berikut ini.
Dengan wajah berlinang air mata dan rasa kesepian
yang amat mendalam, sang anak mendatangi kedua orang tuanya. Tongkat yang biasa
digunakan ayahnya untuk memukul dia saat melakukan kenakalan pun dibawa serta
ke hadapan kedua orang tuanya. Sang anak berkata dengan tersedu-sedu, “Jika aku
berbuat salah, maki saja! Jika aku nakal, pukul saja! Namun aku mohon dengan
sangat, jangan diamkan aku.”
Contoh lainnya adalah apa yang selama ini melanda
generasi muda: instagram. Di dalamnya, janji tentang penerimaan dan relasi
dicoba dipenuhi. Banyak orang berlomba-lomba menampilkan dirinya yang terbaik.
Semua sumber daya yang ada dihabiskan untuk pose terbaik di instagram. Harta
kekayaan adalah tanda hidup yang bermakna. Model berpakaian mulai melangkahi
batas-batas adat ketimuran. Kehidupannya adalah apa yang dilakukan idolanya.
Fenomena ini melanda semua kalangan dan jenis
kelamin. Laki-laki mencoba memperlihatkan maskulinitasnya dalam berbagai cara.
Fisik yang kuat adalah lambang citra diri yang mumpuni. Penampilan adalah
segala-galanya. Lebih baik kalah nasi daripada kalah aksi. Pameran ketampanan adalah
candu yang memabukkan. Tidak ketinggalan, para perempuan mulai menggelontorkan
sejumlah besar uang untuk menjaga dirinya agar tetap terlihat cantik. Belahan
dada mulai dipamerkan di mana-mana. Berpakaian seminim mungkin adalah tanda
keutuhan seksual. Ketelanjangan adalah kebanggaan. Kecantikan adalah mahkota
kebesaran.
Kedua fenomena di atas menggambarkan bahwa kebutuhan
yang paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah relasi. Kita ingin
dihargai, dipuji, diterima, dan diakui oleh sekitar. Segala cara kita lakukan
demi hal tersebut. Namun tahukah kita? Semua upaya pencarian relasi yang
bermakna tidak ada bedanya dengan fatamorgana. Apa yang instagram tawarkan
untuk memberikan kita relasi dan penerimaan hanyalah utopia dan kebohongan
belaka. Sifat keduniawian membuat dosa menjadi tampak normal dan kebenaran menjadi
terlihat aneh. Tidak ada yang lebih tragis daripada orang yang salah menilai
apa yang paling berharga dalam hidupnya.
Ketika Allah datang ke dalam dunia dalam diri Yesus
Kristus, Ia datang untuk berelasi dengan manusia. Inilah yang Allah sediakan
bagi manusia. Ia bukan hanya menyatakan itu dari atas sana. Kabar baik ini
diberikan bagi kita yang selama ini mencari relasi penerimaan dengan teman,
pacar, orang tua, instagram, dan hanya mendapati bahwa semuanya itu ternyata
mengecewakan. Kita semua mencari relasi yang hangat dan tidak pernah
mendapatkannya. Kita semua mencari relasi yang tidak pernah menyakitkan dan
mengecewakan. Kabar baik ini mungkin tidak seperti yang dunia harapkan, namun
inilah yang dibutuhkan oleh seluruh dunia.
Injil merupakan penyataan tentang diri Allah yang
berinkarnasi. Di dalam diri Yesus Kristus, Ia datang dan berkata, “Aku
menyediakan relasi yang seperti itu.” Dia bersedia disalib supaya setiap orang
dapat datang kepada Bapa. Demi mendapatkan kita, Bapa rela kehilangan Anak-Nya.
Yesus kehilangan hubungan-Nya dengan Bapa supaya kita bisa memiliki hubungan
dengan Allah sebagai Bapa. Sungguh tak terbayangkan! Relasi seperti apa yang
hendak Allah pulihkan dengan manusia sampai-sampai Ia memalingkan muka terhadap
Anak-Nya dan membiarkan Yesus menerima murka ilahi berupa maut? Demi membangun relasi
dengan manusia, relasi Tritunggal terputus. Yesus ditinggalkan Bapa-Nya.
Lebih jauh, kita akan mendapati betapa ironisnya hal
yang manusia lakukan. Kita berpikir bahwa kita akan mendapatkan relasi yang
menyenangkan jika kita menunjukkan siapa kita yang terbaik. Kita berpikir bahwa
semua kelebihan yang kita miliki adalah syarat untuk diterima orang lain. Namun
Injil berkata, justru ketika kita berada dalam kondisi terpuruk karena dosa,
Yesus tetap mengasihi kita. Semua kasih dari orang lain memiliki syarat dan
ketentuan. Hanya Injil yang bisa memberikan kasih yang tanpa syarat. Kalau kita
berpikir bahwa Allah mengasihi kita karena kebaikan, keberhasilan, dan kekayaan
kita, maka kita perlu bertanya apa yang menyebabkan Kristus tergantung di atas
kayu salib.
Yesus mati bagi kita yang menyebabkan rasa sakit-Nya
di atas kayu salib, dan Ia mati bagi kita saat kita sedang memberontak
kepada-Nya, bukan saat kita sedang mencari-Nya. Bahkan ketika kita tidak
berusaha apa-apa, kita mendapatkan anugerah yang tidak layak kita dapatkan
melalui salib. Yesus terlebih dahulu ditelanjangi untuk kita, ketika kita
menampilkan tubuh yang telanjang di instagram. Apa yang manusia cari di
instagram, sudah diberikan Yesus di atas kayu salib.
Kedua, kerinduan akan kasih dan pengampunan.
Kesadaran manusia bahwa dirinya tidak akan pernah lepas dari pelanggaran dan
kesalahan membuat setiap orang bukan hanya menginginkan sebuah relasi, tetapi
juga relasi kasih. Setiap orang ingin diampuni ketika dia berbuat salah. Pada
kenyataannya, kita mendapati bahwa maaf dari orang lain juga penuh syarat,
ketentuan, dan keterbatasan.
Untuk memahami betapa berharganya kasih dan
pengampunan Allah, kita perlu memahami betapa seriusnya dosa manusia. Makna
kedatangan Kristus ke dalam dunia akan sulit dimengerti jika kita tidak
memahami kebobrokan manusia karena dosa. Tidak ada yang lebih mengerikan
daripada orang yang berada dalam kondisi berdosa dan dia menjalankan
kehidupannya seakan segala sesuatunya baik-baik saja. Sin will rarely present itself to us in its true colors, saying ‘I am
your deadly enemy and want to ruin you forever in hell.’ Kebohongan yang
banyak orang percaya adalah mereka berpikir bahwa mereka adalah orang yang
baik-baik saja dan hidup mereka tidak bermasalah. “Total depravity is simply another way of saying that there is no area
of your life about which you can say, ‘I don’t need Jesus for that’. Remember,
we are great sinners, in the hand of angry God!”
Tingkat keseriusan masalah dapat diukur dari siapa
yang harus turun tangan menyelesaikan masalah itu. Dalam menyelesaikan masalah
dosa, Allah sampai harus turun ke dunia. Apa artinya? Utang dosa kita yang
besar terhadap Allah menuntut pembayaran yang tak terbatas, dan satu-satunya
cara di mana Allah dapat mengampuni kita adalah dengan membayarnya sendiri.
Tidak ada hal baik dalam diri kita yang membuat
Allah berkenan kepada kita. Namun Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita
melalui kematian Kristus di atas kayu salib. Karena itulah kita mendapatkan
kasih dan pengampunan Allah. Injil memenuhi kebutuhan terdalam umat manusia,
yaitu kasih sayang. Kita tidak akan mengerti seberapa agungnya tiang salib dan
kubur yang kosong sampai kita menyadari bahwa kita adalah makhluk yang hina,
tak berdaya, dan penuh dosa di hadapan Allah, dan betapa mengerikannya relasi
yang terpisah dengan Allah.
Injil merupakan penyataan tentang kasih Allah yang
mahakasih. Itulah yang ditawarkan oleh kematian dan kebangkitan Kristus. Kita
semua adalah manusia berdosa: layak untuk dibuang dan dihukum dalam kekekalan.
Begitu mudahnya kita mengakui bahwa kita adalah anak Allah yang sudah ditebus
melalui pengorbanan Kristus, tetapi dengan sama mudahnya juga kita jatuh ke
dalam dosa yang karenanya Kristus mati.
Namun, “Jesus
sees our sin more clearly than anyone, yet he loves us more than anyone.”
Yesus mengasihi dan mau mengampuni segala pelanggaran kita. Tiap kali kita malu
menghadap takhta Tuhan yang kudus karena kegagalan yang berulang, Bapa di surga
tidak pernah menghitung dan mengingat-ingat kesalahan kita yang lalu. Setiap
kali adalah kali pertama. Pengampunan-Nya selalu tersedia. Tuhan tak pernah
gagal mengasihi orang yang gagal. Kegagalan kita tidak akan pernah membuat
Allah memalingkan wajah-Nya terhadap kita. “We
have given God countless reasons not to love us. None of them have been strong
enough to change Him,” kata seorang teolog yang bernama Paul Washer.
Ketika hukum karma mengatakan bahwa kita mendapatkan
apa yang layak kita dapatkan, kekristenan menyatakan bahwa Yesuslah yang
mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan. Inilah pengampunan yang manusia
butuhkan. Hanya Injil yang bisa menjawabnya melalui karya penebusan Kristus di
atas kayu salib.
Dosa kita memang besar, tetapi lebih besar lagi kasih-Nya
kepada kita. Tuhan sudah mengampuni semua kesalahan, penyesalan, kekecewaan,
kekeliruan, pelanggaran, dan dosa orang-orang yang memercayai Injil Yesus
Kristus. Jangan biarkan kita hidup dengan perspektif masa lalu yang salah.
Jangan biarkan diri kita dikuasai oleh perasaan bersalah yang berlebihan
sehingga meremehkan anugerah dan kasih Allah.
Kita memang tidak pantas dikasihi oleh
Tuhan, namun Kristus mengasihi kita dengan cara menyelesaikan semua dosa kita
di atas kayu salib; baik dosa masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Tuhan tahu kita akan melakukan banyak dosa, tetapi Tuhan yang sama toh tetap
mati bagi kita. Itulah kasih karunia Tuhan yang besar. Tuhan adalah Allah yang
penuh dengan kasih.
- Agunglah kasih Allahku, tiada yang setaranya; neraka dapat direngkuh, kartikapun tergapailah. Kar’na kasihNya agunglah, Sang Putra menjelma, Dia mencari yang sesat dan diampuniNya.
- ‘Pabila zaman berhenti dan tahta dunia pun lebur, meskipun orang yang keji telah menjauh dan takabur, namun kasihNya tetaplah, teguh dan mulia. Anug’rah bagi manusia, dijunjung umatNya.
- Andaikan laut tintanya dan langit jadi kertasnya, andaikan ranting kalamnya dan insan pun pujangganya, takkan genap mengungkapkan hal kasih mulia, dan langit pun takkan lengkap memuat kisahnya.
- Refrein: O kasih Allah agunglah! Tiada bandingnya! Kekal teguh dan mulia! Dijunjung umatNya.
Ketiga, kerinduan akan kebahagiaan. Setiap orang
ingin bahagia. Ateis pun ingin bahagia. Apakah kebahagiaan yang sejati itu ada?
Jika ada, apakah itu? Bagaimana cara mendapatkannya? Ke mana kita harus
mencarinya? Kebahagiaan manusia adalah ketika kita bisa bersama-sama dengan
Tuhan dan menikmati relasi dengan-Nya. Injil merupakan penyataan tentang
kebahagiaan hidup dalam Allah. Injil adalah jawaban akan pencarian kebahagiaan
yang sejati karena Tuhan bukan memberikan sesuatu di luar diri-Nya, namun Ia memberikan
diri-nya sendiri kepada kita. Di luar Kristus, kita tidak mendapatkan apa-apa
selain kesia-siaan dan penghukuman kekal. Sebelum kita mengalami kemiskinan
total di dalam Allah, kita tidak akan mengerti apa artinya kebahagiaan yang
sejati.
Kebahagiaan yang tidak pernah kita dapatkan di dunia
justru ditawarkan dalam melakukan apa yang benar. Ketika banyak orang lebih
menyukai hal-hal yang menyenangkan daripada hal-hal yang benar, kita harus
menegaskan bahwa Kristus jauh lebih berharga daripada hal-hal yang kita
tinggalkan untuk mengikut-Nya. Kristus memberikan kedamaian bagi kita yang tak
bisa dunia berikan, sebab masalah terbesar kita yaitu dosa sudah diselesaikan
di atas kayu salib. “Life with God is not
immunity from difficulties, but peace in difficulties.”
Dasar kebutuhan Injil yang terakhir adalah jawaban
atas penderitaan dan kematian. Pertama, Injil menyatakan Allah yang turut
merasakan penderitaan manusia. Allah bukan hanya mencoba mengerti pergumulan
manusia jauh di atas sana. Itu adalah omong kosong. Allah tidak terbatas. Di
surga mana ada penderitaan? Mana mungkin Allah bisa merasakan penderitaan?
Orang Kristen dikuatkan dan dihibur karena kenyataan
bahwa Allah menderita bersama kita dan bahkan masuk ke dalam penderitaan yang
kita alami, khususnya di dalam Pribadi Yesus Kristus. Ia menderita di kayu
salib; memalukan dan penuh penghinaan. Sungguh, Allah yang tidak ikut menderita
tidak kalah buruk daripada Iblis. Allah yang tidak peduli akan menghasilkan
umat manusia yang juga tidak peduli.
Jika direnungkan lebih dalam, apakah penderitaan
yang paling besar? Penderitaan yang terbesar adalah hukuman kekal di neraka. Orang-orang
di neraka akan dijauhkan dari hadirat Tuhan (2Tes. 1:9b). Kehadiran Tuhan di
sini jelas bukan secara spasial (berkaitan dengan tempat). Allah adalah
mahahadir. Ia tidak bisa tidak ada di suatu tempat, karena Ia lebih besar
daripada semua tempat. Ketiadaan hadirat Tuhan berarti ketiadaan kehadiran-Nya
secara relasional. Ketiadaan hadirat Tuhan berarti hukuman ilahi. Adam dan Hawa
diusir dari Taman Eden (Kej. 3:22-23). Kain pergi dari hadapan Allah (Kej.
4:16). Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, ketidakadaan hadirat Tuhan di
neraka bersifat mutlak dan kekal. Mutlak, dalam arti tidak akan ada kebaikan
ilahi sama sekali. Tidak akan ada anugerah yang ditunjukkan oleh Allah. Kekal,
dalam arti tidak akan berhenti atau berubah. Orang-orang yang berada di neraka
juga akan dijauhkan dari kemuliaan kekuatan Tuhan. Kalau kehadiran Tuhan lebih
berkaitan dengan kebaikan-Nya, kemuliaan kekuatan-Nya lebih ke arah
pertolongan-Nya. Tuhan tidak akan memberikan pertolongan lagi. Tidak ada jalan keluar
bagi penderitaan mereka.
Untuk memahami keseriusan hukuman yang akan menimpa
orang-orang di neraka, marilah kita membandingkannya dengan penderitaan di
dalam dunia. Kesengsaraan apapun di dunia ini masih dibalut dengan kebaikan dan
anugerah. Kita tetap bisa menikmati hidup di dalam dunia yang sudah jatuh dalam
dosa. Sebagai contoh, masih ada musim yang teratur sebagai salah satu wujud
kebaikan Allah (Mat. 5:45; Kis. 14:17). Sejahat apapun hidup seseorang di
dunia, dia tetap merasakan kasih Allah. Sakit penyakit pun masih tertangani
dengan dokter, obat, dan perawat. Masih ada orang-orang yang menghibur. Untuk
penyakit yang paling parah sekalipun masih ada obat penghilang rasa sakit.
Bahkan masih ada kematian sebagai akhir dari penderitaan jasmaniah. Di neraka,
semua ini tidak akan ada lagi. Allah tidak akan menyisakan anugerah-Nya sama
sekali. Ini adalah anggur murka Allah yang tanpa campuran (Why. 14:10).
Karena penderitaan tersebut tidak ada tandingannya
dengan apapun yang ada di dunia ini, kita sulit membayangkan betapa hebatnya
penderitaan di neraka. Itulah sebabnya Alkitab menggunakan beragam metafora
untuk mengungkapkan hal itu. Tidak ada satu metafora pun yang sebanding dengan
realita di neraka. Kumpulan metafora pun tetap masih kurang. Penderitaan di
neraka tidak terbayangkan!
Dengan kata lain, hukuman kekal bukan berarti Allah
mendesain sebuah tempat di mana ada api yang menyala-nyala; sebuah tempat di
mana lidah orang yang suka berbohong terus-terusan dipotong namun dapat muncul
lagi dan dipotong lagi sampai selama-lamanya. Neraka adalah ketika Allah
menghentikan seluruh kasih yang selama ini telah diberikan kepada manusia
secara total.
Dan pederitaan sebesar inilah yang Yesus alami
ketika menanggung upah dosa manusia di atas kayu salib. Ia kehilangan relasi
dengan Allah sehingga berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku?” Yesus telah mengalami siksa neraka: perceraian dari kasih
Allah yang kekal sebagai penderitaan yang paling mengerikan. Ia meminum anggur
murka Allah yang tanpa campuran. Tidak ada kasih dari Allah ketika Yesus mati
di kayu salib.
Inilah bukti bahwa Allah menjadi manusia, sama
seperti kita, untuk merasakan pergumulan, kesulitan, bahkan penderitaan kita. Penghiburan
yang sejati dari semua masalah kehidupan bukan datang dari tempat hiburan malam
atau komunitas-komunitas tertentu. Penghiburan yang sejati hanya datang dari Allah
yang telah mengalami penderitaan dalam diri Yesus. Ia sudah menyelesaikan
segala penderitaan yang paling mengancam hidup manusia, bahkan kematian karena
murka Allah sudah ditanggung oleh-Nya.
Ia tidak berbuat dosa, namun Ia yang mengalami
hukuman dosa. Tangan kita yang berbuat dosa, tetapi tangan-Nya yang terpaku.
Pikiran kita yang jahat telah membuat pikiran-Nya yang tidak pernah dipakai
untuk memikirkan yang jahat bersanding dengan mahkota duri. Kaki-Nya yang tidak
pernah melangkah pada jalan-jalan yang sesat justru dipaku. Ketika Ia
berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, sadarkah
kita bahwa kitalah yang seharusnya berteriak demikian? Ia mengalami teriakkan
itu supaya selama kita hidup maupun kita mati, kalimat itu tidak pernah keluar
dari mulut kita (siapakah yang sanggup memisahkan kita dari kasih Kristus?).
Hal seperti ini hanya ada di dalam Injil. Kematian
Kristus di kayu salib bukan hanya menunjukkan betapa besarnya kasih Allah,
tetapi juga murka Allah yang dipuaskan. Di atas kayu salib, Kristus tidak hanya
menuntaskan masalah terbesar umat manusia (dosa), tetapi Ia juga mengalahkan
ketakutan manusia yang terbesar (maut). Bahkan kematian pun tidak akan
memisahkan kita dari kasih Kristus (Rm. 8:35-39). Yesus mengalami maut supaya
kita boleh terlepas dari kematian kekal. Injil menyatakan pengampunan Allah
atas kematian kekal.
Itulah sebabnya bagi Paulus, mati adalah keuntungan
(Flp. 1:21b). Karena Injil adalah jawaban atas penderitaan dan kematian.
Kematian jasmani adalah awal dari kehidupan kekal. Ketika kita mati, kita
mendapatkan Allah secara utuh. Kematian adalah pintu di mana Tuhan menyambut
kita untuk secara utuh bersama-sama dengan-Nya dalam kekekalan. Itulah yang
menjadi kebutuhan dan harapan seluruh umat manusia. Jawaban seperti ini hanya
disediakan oleh Injil Yesus Kristus. Jauh di dalam hati setiap orang, mereka
mencari mencari jawaban seperti ini. Itulah sebabnya kabar baik ini harus terus
diberitakan ke semua tempat. Hal ini menegaskan keunikan dan superioritas
kekristenan. Lebih jauh, hal ini juga menjelaskan bahwa pergumulan eksistensial
manusia hanya bisa terjawab sepenuhnya oleh Injil Yesus Kristus.
Bacaan penting :
- Andy Bannister, The Atheist Who Didn’t Exist (England: Monarch Books, 2005).
- Thomas V. Morris, Making Sense of It All (Surabaya: Momentum, 2002).
- Abdu Murray, Saving Truth: Finding Meaning and Clarity in a Post-Truth World (Grand Rapids: Zondervan, 2018).
- Ravi Zacharias, Recapture the Wonder (Nashville: Thomas Nelson, 2003).
- Ravi Zacharias, Can Man Live Without God (Chennai: RZIM Educational Trust, 1994).